Rabu, 01 Juni 2011

makalah kesehatan

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat persalinan merupakan saat-saat yang paling ditunggu-tunggu oleh para ibu namun, ini juga merupakan saat yang paling meneganggangkan dimana pada saat itu ibu harus berjuang hidup dan mati demi kelahiran sang bayi. Setiap ibu yang melahirkan pasti menginginkan kelahiran yang normal, sehingga sang ibu bisa seakan menjadi ibu yang seutuhnya. Pada saat persalinan ibu memiliki resiko terjadinya perdarahan bisa akibat robekan jalan lahir (biasanya robekan serviks/leher rahim), atau karena kontraksi rahim kurang baik (atonia uteri). Jika ibu mengalami perdarahan pasca bersalin sebaiknya ibu harus di beri penanganan khusus apalagi jika perdarahan tersebut terjadi begitu banyak karena ini bisa mengakibatkan kematian ibu. Penanganan setiap keadaan (robekan jalan lahir atau atonia uteri), memerlukan pengelolaan yang berlainan. Apabila ternyata perdarahan yang terjadi bukan akibat robekan jalan lahir, maka harus diperiksa kembali plasentanya apakah sudah lahir atau belum. Perdarahan pada kala III (kala uri) sebelum atau sesudah lahirnya plasenta, merupakan penyebab utama kematian ibu bersalin. Salah satu upaya mengatasi perdarahan pasca persalinan ini adalah dengan obat. Namun bila perdarahan terjadi sebelum plasenta lahir (Retensia plasenta), bidan harus segera minta pertolongan dokter rumah sakit terdekat. Untuk mengurangi adanya luka yang tidak bagus pasca persalinan biasanya bidan akan melakukan episiotomi, tujuan melakukan episiotomy ini adalah untuk memperlebar jalan lahir sehingga mempermudah persalinan pervaginam. Namun episiotomi tidak boleh dilakukan rutin tapi hanya pada ibu dengan indikasi tertentu saja yang boleh dilakukan tindakan episiotomi.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan II (Persalinan)
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tentang pemantauan kontraksi pada ibu bersalin
b. Untuk mengetahui berbagai macam tentang robekan jalan lahir pada ibu bersalin dan penanganannya.
c. Untuk mengetahui macam-macam kebutuhan dasar ibu pada kal III
C. Sistematika Penulisan
Sistematika dari makalah ini terdiri dari, BAB I PENDAHULUAN yang berisikan latar belakang dan tujuan penulisan. Kemudian BAB II PEMBAHASAN yang terdiri dari pengertian kala III persalinan, pemantauan kontraksi, robekan jalan lahir (perineum, tanda vital, dan hygiene) serta kebutuhan dasar ibu pada kala III. Selanjutnya yang diakhiri dengan BAB III PENUTUP yang terdiri dari simpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Persalinan kala III merupakan fase pengeluaran plasenta, fase ini dimulai pada saat bayi telah lahir lengkap dan berakhir dengan lahirnya plasenta.
Kelahiran plasenta merupakan lepasnya plasenta dari insersi pada dinding uterus, serta pengeluaran plasenta dari kavum uteri. Lepasnya plasenta dari insersinya bisa terjadi dari sentral (schultze) ditandai dengan perdarahan baru, atau dari tepi / marginal (matthews-duncan) jika tidak disertai perdarahan, atau mungkin juga serempak sentral dan marginal. Pelepasan plasenta terjadi karena perlekatan plasenta di dinding uterus adalah bersifat adhesi, sehingga pada saat kontraksi mudah lepas dan berdarah. Pada keadaan normal, kontraksi uterus bertambah keras, fundus setinggi sekitar / di atas pusat. Plasenta lepas spontan 5-15 menit setelah bayi lahir.
B. PEMANTAUAN KONTRAKSI
Kala tiga persalinan terdiri dari dua fase berurutan yaitu pelepasan plasenta dan pengeluaran plasenta. Pelepasan dan pengeluaran terjadi karena kontraksi, yang mulai terjadi lagi setelah terhenti singkat setelah kelahiran bayi. Kontraksi kurang lebih setiap 2 sampai 2,5 menit selama kala dua persalinan. Setelah kelahiran bayi, kontraksi berikutnya mungkin tidak terjadi selama 3 sampai 5 menit. Kontraksi kemudian berlanjut setiap 4 sampai 5 menit sampai plasenta telah lepas dan keluar. Setelah itu, uterus kosong berkontraksi dengan sendirinya dan tetap berkontraksi jika tonus otot baik. Apabila tonus otot tidak baik, seorang wanita akan mengalami peningkatan aliran lokia dan kontraksi uterus berulang sewaktu uterus relaksasi. Hal ini menyebabkan nyeri setelah melahirkan.
Pelepasan plasenta
Langkah pertama dalam mengelola kala tiga adalah mengevaluasi kemajuan persalinan dan kondisi ibu. Satu tangan ditempatkan di abdomen ibu untuk merasakan adanya kontraksi ini bisa dilakukan tanpa masase. Dalam hal ini tanda-tanda plasenta lepas antara lain tali pusat bertambah panjang dan adanya semburan darah tiba-tiba. Pelepasan plasenta ini terjadi mulai 10-15 menit setelah kelahiran bayi.
Pengeluaran plasenta
Pada saat proses pengeluaran plasenta gunakan satu tangan untuk memegang abdomen ibu untuk meyakinkan kontraksi baik. pada saat yang sama tangan yang lain menarik tali pusat. Perlu diperhatikan jika kontraksi lemah jangan melakukan penarikan karena dapat mengakibatkan inversio uteri. Pengeluaran plasenta maximal terjadi 30 menit.
C. ROBEKAN JALAN LAHIR
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdaraha sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus ( rupture uteri). Perdarahan bisa berbentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterial atau pecahnya pembuluh darah vena. Jenis perlukaan ringan berupa lecet, yang berat berupa robekan jalan lahir. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan speculum.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah:
1. Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).
a. Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih tinggi.
b. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
c. Bila kontraksi lembek setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi tidak atau lambat menjadi keras.
2. Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).
a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus. Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.
c. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
Robekan jalan lahir dan perineum dapat terjadi antara lain :
a. Vagina
Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :
1) Melahirkan janin dengan cnam.
2) Ekstraksi bokong
3) Ekstraksi vakum
4) Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.
5) Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk robekan vagina bisa memanjang atau melintang.
Komplikasi robekan vagina antara lain :
1) Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial terjadi perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam, lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan yang hebat.
2) Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi infiksi bahkan dapat timbul septikami.
Perlukaan pada dinding depan vagina sering kali terjadi terjadi di sekitar orifisium urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat menimbulkan perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut tidak dapat diatasi hanya dengan jahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam selama beberapa hari.
Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan lanjutan robekan perineum. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya merupakan lanjutan robekan serviks uteri. Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Baik kepala maupun bahu janin dapat menimbulkan robekan pada dinding vagina. Kadang-kadang robekan terjadi akibat ekstrasi dengan forceps. Bila terjadi perlukaan pada dindin vagina , akan timbul perdarahan segera setelah jalan lahir. Diagnose ditegakan dengan mengadakan pemeriksaan langsung. Untuk dapat menilai keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan pemeriksaan dengan speculum. Perdarahan pada keadaan ini umumnya adalah perdarahan arterial sehingga perlu dijahait. Penjahitan secara simpul dengan benang catgut kromik no.0 atau 00, dimulai dari ujung luka sampai luka terjahit rapi.
Pada luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penangan khusus pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara terputus-putus atau jelujur.
Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupun perinium. Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke arah rongga panggul, sehingga kauum dougias menjadi terbuka. Keadaan ini disebut kolporelasis. Kolporeksis adalah suatu keadaan dimana menjadi robekan pada vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini dapat memanjang dan melintang.
b. Perlukaan Vulva
Perlukaan vulva terdiri atas 2 jenis yaitu :
1) Robekan Vulva
Perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika diperiksa dengan cermat, akan sering terlihat robekan. Robekan keci; pada labium minus, vestibulum atau bagianbelakang vulva. Jika robekan atau lecet hanya kecil dan tidak menimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu dilakkan tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robekan terjadi pada pembuluh darah, lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan luka robekan. Luka-luka robekan diahit dengan catgut secara terputus-putus ataupun secara jelujur. Jika luka robekan terdapat disekitar orifisium uretra atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya sebelum dilakukan penjahitan, dipasang dulu kateter tetap.
2) Hematoma Vulva
Terjadinya robekan vulva disebabkan oleh karena robeknya, pembuluh darah terutama vena yang terikat di bawah kulit alat kelamin luar dan selaput lendir vagna.
Hal ini dapat terjadi pada kala pengeluaran, atau setelah penjahitan luka robekan yang senbrono atau pecahnya vasises yang terdapat di dinding vagina dan vuluz. Sering terjadi bahwa penjahitan luka episiotomi yang tidak sempurna atau robekan pada dinding vagina yang tidak dikenali merupakan sebab terjadinya hematome. Tersebut apakah ada sumber perdarahan. Jika ada, dilakukan penghentian perdarahan. Perdarahan tersebut dengan mengikat pembuluh darah vena atau arteri yang terputus. Kemudian rongga tersebut diisi dengan kasa streil sampai padat dengan meninggalkan ujung kasa tersebut di luar. Kemudian luka sayatan dijahit dengan jahitan terputus-putus atau jahitan jelujur. Dalam beberapa hal setelah summer perdarahan ditutup, dapat pula dipakai drain
c. Serviks Uteri
Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan saat persalinan karena perlukaan itu portio vaginalis uteri pda seorang multipara terbagi menjadi bibir depan dan belakang. Robekan serviks dapat menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab di temapat terdapat ramus desenden dari arateria uterina. Perlukaan ini dapat terjadi pada persalinan normal tapi lebih sering terjadi pada persalinan dengan tindakan – tindakan pada pembukaan persalinan belum lengkap. Selain itu penyebab lain robekan serviks adalan persalinan presipitatus. Pada partus ini kontraksi rahim kuat dan sering didorong keluar dan pembukaan belum lengkap. Diagnose perlukaan serviks dilakukan dengan speculum bibir servika dapat di jepit dengan cunam atromatik. Kemudian diperiksa secara cermat sifat- sifat robekan tersebut. Bila ditemukan robekan serviks yang memanjang, maka lukaa dijahit dari ujung yang paling atas, terus ke bawah. Pda perlukaan serviks yang berbentuk melingkar, diperiksa dahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak. Jika belum lepas, bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika yang lepas hanya sebagian kecil saja itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan dirawat untuk menghentikan perdarahan.
d. Korpus uteri
Perlukaan yang paling berat pada waktu persalianan ialah robekan uterus. Robekan ini dapat terjadi pada waktu kehamilan atau pada waktu persalianan, namun yang aling seting terjadi ialah robekan ketika persalinan. Mekanisme terjadinya robekan uterus bernacam-macam. Ada yang terjadi secara spontan, dan ada pula yang terjadi akibat ruda paksa. Lokasi robekan dapat korpus uteri atau sgmen bawah uterus. Robekan bisa terjadi pada tempat yang lemah pada dinding uterus misalnya pada parut bekas operasi seksio sesarea atau bekas miomektomi. Robekan bisa pula terjadi tanpa ada parut bekas operasi, apabila segman bawah uterus sangat tipis dan regang karena janin megalami kesulitan untuk melalui jalan lahir. Robekan uterus akibat ruda paksa umumnya terjadi pada persalinana buatan , misalnya pada estrasi dengan cunam atau pada versi dan ekstrasi. Dorongan Kristeller bila tidak dikerjakan sebagaimana mestinya dapat menimbulkan robekan uterus. Secara anatomi robekan uterus dapat dibagi dalam dua jenis yaitu:
• Robekan inkomplet, yakni robekan yang mengenai endometrium dan miometrium tetapi perimetrium masih utuh.
• Robekan komplet, yakni robekan yang mengenai endometrium, miometrium dan perimetrium sehingga terdapat hubungan langsung antara kavum uteri dan rongga perut. Robekan uterus komplet yang terjadi ketika persalianan berlangsung menyebabakan gejala yang khas yaitu nyeri perut mendadak, anemia, syok dan hilangnya kontraksi. Pada keadaan ini detak jantung janin tidak terdengar lagi, serta bagian-bagian janin dengan mudah dapat teraba dibawah dinding perut ibu.
e. Uterus
Ruptura uteri disebabkan oleh his yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepar, cincin van bandi meninggi. Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan (bisa keluar melalui vagina atau pun ke dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba langsung dbawah dinding perut, ada nyeri tekan,dan di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal. Jika kejadian ruptura uteri lebih lama terjadi, akan timbul gejala-gejala metwarisme dan defenci musculare sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin. Ruptur uteri dibedakan menjadi dua yaitu,
1) Ruptura uteri spontan. Ruptura uteri spontan dapat terjadi pada keadaan di mana terdapat rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan letak dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, vanggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.
2) Ruptura uteri traumatik dalam hal ini reptura uteri terjadi oleh karena adanya lucus minoris pada dinding uteus sebagai akibat bekas operasi sebelumnya pada uterus, seperti parut bekas seksio sesarea, enukkasi mioma/meomektomi, histerotomi, histerorafi, dan lain-lain. Reptura uteri pada jaringan parut ini dapat dijumpai dalam bentuk tersembunyi (occult) yang dimaksud dengan bentuk nyata/jelas adalah apabila jaringan perut terbuka seluruhnya dan disertai pula dengan robeknya ketuban, sedang pada bentuk tersembunyi, hanya jaringan perut yang terbuka, sedang selaput ketuban tetap utuh.
Secara anatomik reptura uteri dibagi atas :
1) Reptura uteri komplit. Dalam hal ini selain dinding uterus robek, lapisan serosa (pertoneum) juga robek sehingga janin dapat berada dalam rongga perut.
2) Reptura uteri inkomplit dalam hal ini hanya dinding uterus yang robek, sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
Ruptura uteri merupakan malapetaka untuk ibu maupun janin oleh karena itu tindakan pencegahan sangat penting dilakukan setiap ibu bersalin yang disangka akan mengalami distosia, karena kelainan letak janin, atau pernah mengalami tindakan operatif pada uterus seperti seksio sesarea, memektomi dan lain-lain, harus diawali dengan cermat. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan dapat segera dilakukan jika timbul gejala-gejala ruptura uteri membakar, sehingga ruptura uteri dicegah terjadinya pada waktu yang tepat.
Pertolongan yang tepat untuk ruptura uteri adalah laporotomi sebelumnya penderita diberi trasfusi darah atau sekurang-kurangnya infus cairan garam fisiologik/ringer laktat untuk mencegah terjadinnya syok hipovolemik. Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak dianjurkan untuk dilakkan pula tubektomi pada kedua tuba (primary), sedang bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum merasa lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya untuk dilakukan seksio sesaria primer.
f. Robekan Perineum
Robekan perinium umumnya terjadi persalinan di mana :
1) Kepala janin terlalu cepat lahir.
2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Sebelumnya perinium terdapat banyak jaringan parut
4) Pada persalinan terjadi distosia.
Robekan perinium dapat dibagi atas 3 tingkat :
1) Tingkat 1
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium sedikit.
2) Tingkat 2
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir, vagina juga mengenai sfingter ani.
3) Tingkat 3
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perinium sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
Robekan perineum sering terjadi hampir setiap terjadinya persalinan pertama maupun berikutnya. Robekan ini dapat dihindari atau dikurangi dengan menjaga dasar panggul di lalui kepala janin dengan cepat. Sebaiknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasr panggul karena diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari biasa sehingga memaksa kepala janin lahir lebih ke belakang, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia suboksipito-bregmatik atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal.
Apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma uregonitalis pada garis tengah terluka dan pada robekan tingkat tiga atau robekan atau robekan total muskulus sfingter ani ikut terputus dan kadang dinding depan rectum ikut robek pula. Jarang terjadi robekan yang mulai dari dinding belakang vagina di atas intritus vagina dan anak dilahirkkan melalui robekan itu , sedangkan ( dengan meninggalkan ) perineum sebelah depan tetap utuh ( robekan perineum sentral ). Pada persalinan sulit di samping robekan perineum yang dapat dilihat, dapat pula terjadi kerusakan dan keregangan muskulus puborektalis kanan dan kiri serta berhubungannya di tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predosposisi untuk terjadinya prolapsus uteri di kemudian hari. Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dilakukan secara manual, tetapi lebih baik tindakan itu ditunda sampai plasenta lahir. Pasien dianjurkan untuk berbaring dalam posisi litotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentuka denga seksama.
Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi local otot-otot diafragma urogenetalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikut sertakan jaringan- jaringan di bawahnya.
Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian vasia prarektal ditutup dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan perineum tingkat dua. Untuk menghasilkan jahitan yang baik, terapi pada robekan perineum total, perlu diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna. Penderita tidak diperbolehkan memakanan makanan yang mengandung selulosa dan mulai hari kedua diberi paraffinum liquidum sesendok 2 kali sehari dan jika perlu pada hari ke 6 diberi klisma minyak.
D. PEMANTAUAN TANDA-TANDA VITAL KALA III
Pada kala III persalinan perubahan tanda-tanda vital tergantung pada kondisi fisik ibu sendiri, dimana kondisi fisik ini juga didukung oleh adanya support dari keluarga terdekat seperti suami. Sebaiknya setelah ibu melahirkan bidan harus segera memperhatikan tanda-tanda infeksi, pre eklamsia dan perdarahan hebat yang mungkin terjadi ( bisa mengarah pada syok). Untuk mengantisipasi itu bidan harus segera memeriksa tekanan darah ibu dan denyut nadi setiap 30 menit serta memeriksa suhu tubuh setiap 4 jam.
E. KEBUTUHAN DASAR IBU KALA III
Kebutuhan dasar ibu pada kala III meliputi:
1) Kebutuhan pada awal kala III atau setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir.
Pada tahap ini yang harus diperhatikan adalah,
a) Keadaan umum dari kondisi ibu
Segera setelah anak lahir, kontraksi rahim berhenti antara 5 – 10 menit. Dalam masa istirahat ini sebaiknya observasi kondisi ibu dengan cara:
 Status lokalis obstetric dengan cara palpasi fundus uteri dan konsistensinya.
 Memeriksa keadaan vital ibu
Memantau keadaan ibu (tanda vital, kontraksi, perdarahan). Pemantauan tanda-tanda vital berguna untuk mengetahui kegawatan misalnya terjadi syok.
Kontraksi ini berfungsi untuk mengetahui bagaimana kontraksi pasien jelek atau tidak, untuk memeriksa apakah pasien terjadi perdarahan atau tidak, karena apabila terjadi perdarahan dapat langsung diberikan asuhan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya 1 kali selama kala III dan lebih sering jika kala III memenjang dari pada rata-rata atau tekanan darah dan nadi berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan setelah evaluasi peningkatan sebelumnya tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada kejadian perdarahan.
Tekanan darah, sistolik dan distolik mulai kembali pada tingkat sebelum persalinan.
Nadi, secara bertahap kembali ketingkat sebelum melahirkan
Suhu, tubuh kembali meningkat perlahan.
Pernapasan, kembali bernapas normal
Aktivitas gastrointestinal, jika tidak terpengaruh obat-obatan, motalitas lambung dan absorpsi kembali mulai ke aktifitas normal. wanita mengalami mual dan muntah selama kala III adalah tidak wajar.
b) Pelepasan plasenta
Setelah kala pengeluaran janin perhatikan tanda-tanda pelepasan plasenta:
1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus.
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya dibawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada diatas pusat.(sering kali mengarah ke sisi kanan).
2) Tali pusat memanjang.
Tali pusat terlihat menjulur keluar dari vulva (tanda ahfeld) .
3) Semburan darah mendadak dan singkat.
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplacental pooling) dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersebut akan keluar dari tepi plasenta yang terlepas.
Menurut Prf. Dr. Rustam Mochtar, gejala-gejala diatas timbul di dalam 5 menit setelah anak lahir. Kalau placenta sudah pasti lepas, maka ditentukan dulu apakah rahim berkontraksi baik dan kemudian diusahakan melahirkan placenta :
1) Dengan menyuruh pasien mengejan
2) Dengan tekanan pada fundus uteri
Tekanan pada fundus uteri hanya boleh dilakukan pada rahim yang berkontraksi baik, kalau dilakukan pada uterus yang lunak dapat menimbulkan inversio uteri (uterus terputar balik). Perdarahan abnormal bila melebihi 500 cc dan darah yang keluar setelah anak lahir harus ditakar.
Asuhan yang diberikan pada saat terjadi pelepasan plasenta antara lain :
1) Jika terjadi perdarahan yang cukup banyak setelah janin lahir, periksalah apakah uri sudah lepas.
2) Bila uri belum lepas anjurkan ibu untuk kencing dan langsung menyusui bayinya.Diharapkan uri bisa segera lepas. Karena dengan mengosongkan kandung kencing,jalan keluar uri tidak terhalang dan dengan menyusui bayinya rahim akan berkontraksi sehingga dapat menekan uri keluar.
3) Apakah uri dapat lepas atau tidak. Jika belum beri pasien makanan/minuman secukupnya,sangat dianjurkan untuk meminum larutan tepung ubi jalar karena sangat bergizi sehingga pasien akan mendapat tenaga yg cukup segera merujuk pasien ke puskesmas terdekat/rumah sakit terdekat dan siapkan orang untuk menjadi donor darah.
4) Uri dapat lepas atau tidak
5) Jika perdarahan terjadi setelah janin lahir dan uri sudah lepas segeralah susui bayinya.karena dengan menyusui,rahim akan berkontraksi dan dapat menghentikan perdarahan.
6) Uri akan lepas, apakah perdarahan berhenti atau tidak. Jika belum berhenti lakukan pijat rahim dengan menekan telapak tangan penolong dan membuat gerakan berputar di atas berputar di atas perut ibu secara perlahan.
7) Perdarahan berhenti atau belum.
8) Perdarahan sudah berhenti,awasi keadaan ibu.beri lanjutan tepung ubi jalar,istirahatkan agar tenaga ibu pulih kembali.Susui bayi sesering mungkin karena dapat merangsang keluarnya air susu ibu dan menghentikan perdarahan.
2) Kebutuhan pada akhir kala III atau setelah plasenta lahir.
Pada tahap ini yang harus diperhatikan adalah
a) Mewaspadai adanya perdarahan yang berlebihan
Perdarahan kala tiga terjadi akibat pelepasan plasenta sebagian. Alasan paling umum terjadi pelepasan plasenta sebagian adalah kesalahan penatalaksanaan pada kala tiga, biasanya mencakup masase uterus yang dilakukan sebelum pelepasan plasenta. Pelepasan sebagian dapat terjadi secara alami selama pelepasan plasenta fisiologis, tetapi biasanya kondisi ini bersifat sangat sementara. Pelepasan sebagian akibat masase uterus sebelum plasenta lepas dari dinding uterus tidak fisiologis, dan akibatnya hamper dapat dipastikan adalah perdarahan kal tiga.
Pada kondisi normal terjadi sejumlah kehilangan darah selama kala tiga, sedangkan sedikit aliran atau tetesan darah atau sedikit semburan darah secara mendadak adalah tanda pelepasan plasenta. Akan tetapi, ketika terdapat aliran darah yang menetap dan telah diketahui lokasi plasenta dalam uterus dan menetapkan bahwa plasenta belum terlepas secara utuh maka perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk penanganan perdarahan kala tiga.
b) Mengecek plasenta yang sudah lepas
 Lengkap atau tidak lengkap
Caranya dengan memeriksa plasenta bagian fetal dan maternal dengan menggunakan kassa kering.
 Pastikan bahwa jumlah kotiledon dan selaput ketuban dalam keadaan lengkap:
 Selaput ketuban diperiksa dengan menggantung plasenta sedemikian rupa dengan memegang talipusat sehingga selaput ketuban tergantung kebawah.
 Kemudian plasenta ditahan dengan kedua telapak tangan dan selaput ketuban disisihkan untuk dapat memeriksa keadaan pars maternalis apakah tidak ada kotiledon yang tertinggal didalam uterus.
3) Perawatan bayi baru lahir.
a) Pencegahan infeksi
Bayi baru lahir sangat rentang terhadap infeksi yang disebabkan oleh paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir. Sebelum menangani bayi baru lahir pastikan penolong persalinan telah melakukan upaya pencegahan infeksi seperti cuci tangan, memakai alat pelindung diri dan menggunakan alat yang steril
b) Penilaian bayi baru lahir
Segera setalah lahir lakukan penilaian apakah bayi menangis kuat atau tidak dan apakah bayi bergerak aktif atau tidak.
c) Perawatan tali pusat
Setelah plasenta lahir dan kondisi ibu sudah stabil maka segera lakukan pengikatan tali pusat denganbenang steril. Dalam perawatan jangan membungkus tali pusat dan mengoleskan cairan pada tali pusat dan jangan lupa untuk mengganti balutan tali pusat selama 2 kali sehari.
d) Melakukan kontak kulit dengan ibu
Untuk mencegah terjadiya hipotermi pada bayi lahir maka segera dilakukan kontak kulit dengan ibu serta untuk mempererat ikatan kedekatan kasih sayang antara ibu dan bayi baru lahir.
e) Melakukan IMD
Setalah melakukan kontak kulit maka segera lakukan IMD karena ASI yang pertama kali keluar (kolostrum) sangat baik bagi bayi terutama untuk kekebalan tubuh, meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan kasih sayang antara ibu dan anak. Biasanya IMD ini dilakukan selama 1 jam pertama setelah kelahiran bayi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Persalinan kala III merupakan fase pengeluaran plasenta, fase ini dimulai pada saat bayi telah lahir lengkap dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Setelah bayi lahir rahim istirahat sekitar 8 sampai 10 menit kemudian berkontraksi kembali untuk melepaskan plasenta dari insersinya, di lapisan Nitabusch. Pelepasan plasenta dapat mulai dari pinggir atau dari sentral dan terdorong ke bagian bawah rahim. Untuk melahirkan plasenta di perlukan dorongan ringan secara Crede. Pada saat persalianan sering terjadi perdarahan yang dapat berasal dari laserasi perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus ( rupture uteri). Sebaiknya setelah ibu melahirkan bidan harus segera memperhatikan tanda-tanda infeksi, pre eklamsia dan perdarahan hebat yang mungkin terjadi ( bisa mengarah pada syok). Untuk mengantisipasi itu bidan harus segera memeriksa tekanan darah ibu dan denyut nadi setiap 30 menit serta memeriksa suhu tubuh setiap 4 jam. Asuhan yang dapat dilakukan pada ibu pada kala III misalnya memberikan kesempatan kepada ibu untuk memeluk bayinya dan menyusui segera, pencegahan infeksi pada kala III dan memberikan motivasi dan pendampingan selama kala III.
B. SARAN
1) Sebaiknya bidan selalu memperhatikan kebersihan diri dan alat-alat yang digunakan dalam menolong persalinan untuk mencegah infeksi.
2) Bidan sebaiknya selalu memantau kontraksi ibu selama kala III.
3) Sebaiknya bidan selalu waspada terjadinya perdarahan abnormal yang berlebihan setelah kelahiran bayi, segera lakukan rujukan ke tempat pelayanan kesehatan terdekat jika terjadi perdarahan abnormal.

DAFTAR PUSTAKA
Klien, Susan. 2008. Panduan Lengkap Kebidanan. Yogjakarta : Palmall
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : IGC
Prawihardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar