Jumat, 04 Februari 2011

PATOLPGI IMUNITAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas SDM. Oleh kerena itu kesehatan perlu di pelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikan. Masalah kesehtan merupakan suatu masalah yang tidak terlepas dari kehidupan manusia, baik kesehtan jasmani maupun rohani mulai dari individu, kelompok dan masyarakat.
Pada pasal 5 UU Kesehatan No 23 Tahun 1992, dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluargan dan juga lingkungan. Dalam hal pemeliharaan kesehatan masyarakat, pemerintahan mendirikan suatu bentuk organisasi kesehatan fungsional yang bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat secara optimal yang disebut puskesmas.
Lingkungan hidup yang kita tempati tidak selalu higienis. Meskipun lingkungan kita sudah terlihat higienis, lingkungan penuh dengan agen-agen penyebab penyakit yang tidak terlihat oleh mata. Seperti bakteri, polutan, virus, parasit yang senantiasa dapat menyerang tubuh kita. Namun, kita tetap masih hidup dengan sehat dan bisa menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Bagaimana dan dengan apakah tubuh kita ini bisa mengatasi hal tersebut. Ini semua ada hubungannya dengan cara tubuh kita mempertahankan diri, yaitu sistem kekebalan tubuh atau sistem imun tubuh kita.
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal dari ilmu kedokteran dan penelitian awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan imunitas yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM. Thucydides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat mengobati penyakit tanpa terkena penyakit sekali lagi. Observasi imunitas nantinya diteliti oleh Louis Pasteur pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman. Teori Pasteur merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit miasma. Robert Koch membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan hadiah nobel pada tahun 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit infeksi. Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada tahun 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.
Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui perkembangan cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas selular. Paul Ehrlich mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi. Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah nobel pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi selular, Elie Metchnikoff.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Sistem kekebalan membantu tubuh mempertahankan diri terhadap berbagai mikroba dan polutan. Namun sistem kekebalan tubuh itu sendiri dapat melemah dan menyebabkan tubuh rentan terhadap berbagai virus, bakteri, atau jamur. Penyebab defisiensi imun dapat mencakup berbagai penyakit seperti virus, penyakit kronis, atau penyakit sistem kekebalan tubuh. Sistem imunitas pun dapat menhalami hyperimunitas yang menyebabkan sistem imun tidak dapat mengidentifikasi patogen atau sel tubuh sendiri yang disebut dengan autoimun.


BAB II
SISTEM IMUNITAS

Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Sistem kekebalan membantu tubuh mempertahankan diri terhadap berbagai mikroba dan polutan.

A. IMUNITAS NONADAPTIF
Mekanisme pertahanan non adaptif disebut juga komponen non spesifik atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik.


Gambar 1. Bagan imuntas non adaptif
1. BARIER ANATOMI
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan berbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
a. Faktor mekanis
• Jaringan epitel (kulit dan mukosa) sangat impermeabel terhadap agen-agen infeksi, kecuali jika terjadi kerusakan, misalnya terluka.
• Gerakan silia, batuk dan bersin membebaskan saluran pernafasan dari pathogen, aliran air mata, saliva dan urin dapat mengeluarkan patogen. Serta mukus pada saluran pencernaan dan pernafasan dapat menangkap mikroorganisme, Dan peristaltik membebaskan saluran pencernaan dari mikroorganisme.
b. Faktor kimia
• Sekresi lambung, sekresi vaginal dan keringat bersifat asam (pH<7) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. • Enzim-enzim perncerna protein dapat membunuh beberapa patogen • Folikel rambut menghasilkan sebum dengan kandungan asam laktat dan asam lemak yang dapat menghambat bakteri patogenik dan jamur. • Lisozim dan fosfolipase pada saliva, air mata, sekresi hidung, dan perspirasi merupakan enzim yang dapat merusak dinding sel bakteri Gram positif sehingga sel mengalami lisis. • Laktoperoksidase merupakan enzim powerfull pada ASI. • Defensin pada paru dan saluran pencernaan memiliki aktifitas antimikrobial. • Surfaktan pada paru beraksi sebagai opsonin yang memicu fagositosis partikel oleh sel-sel fagosit c. Faktor biologis • Flora normal (mayoritas bakteri) pada kulit dan saluran pencernaan mencegah kolonisasi bakteri patogenik dengan mengeluarkan substansi toksik atau dengan bersaing mendapatkan nutrien. • Ada 103-104 mikroba per cm2 di kulit (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Diphtheroid, Streptococci, Candida dll.). • Di lambung dan usus halus terdapat Lactobacilli • Di usus halus terdapat 104 bakteri per gram dan di usus besar 1011 per gram, 95-99% di antaranya adalah anaerob. • Di saluran kemih terdapat koloni berbagai bakteri dan difteroid. • Setelah pubertas, terdapat koloni Lactobacillus aerophilus yang meng-fermentasi glikogen untuk mempertahankan pH asam. 2. BARIER HUMORAL Barier anatomi sangat efektif mencegah kolonisasi mikroorganisme pada jaringan. Tetapi, jika barier tersebut rusak, maka infeksi dapat terjadi. Sekali agen infeksius menembus jaringan, mekanisme imunitas bawaan lainnya bekerja, yaitu inflamasi akut. Faktor-faktor humoral berperan penting dalam radang, ini ditandai dengan edema dan rekrutmen sel-sel fagosit. Faktor-faktor humoral ini ditemukan di dalam serum atau terbentuk di lokasi infeksi. a. Sistem komplemen • Sekali agen infeksius menembus jaringan, mekanisme imunitas bawaan lainnya bekerja, yaitu inflamasi akut (radang akut). • Faktor-faktor humoral berperan penting dalam radang, ini ditandai dengan edema dan rekrutmen sel-sel fagosit. b. Sistem Koagulasi • antimikrobial langsung, misalnya beta-lisin (protein yang dihasilkan oleh trombosit selama koagulasi) • menyebabkan lisis beberapa bakteri Gram positif dengan aksi sebagai detergen kationik. c. Laktoferin dan Transferin adalah protein yang dapat mengikat besi sehinga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. d. Interferon adalah protein yang dapat membatasi replikasi virus dalam sel. e. Lisozim merusak dinding sel bakteri. f. Interleukin -1 (IL-1) memicu demam dan produksi protein fase akut, 3. BARIER SELULER a. NETROFIL atau PMNs (polymorphonuclear cells) dapat melakukan fagositosis terhadap organisme lalu membunuhnya di dalam sel. b. MAKROFAG dan monosit yang baru direkrut melakukan fagositosis serta membunuh mikroorganisme di dalam sel. Makrofag juga mampu membunuh secara ekstraseluler. Makrofag mendukung perbaikan jaringan dan beraksi sebagai antigen-presenting cells (APC), yang diperlukan untuk memicu respon imun spesifik. c. SEL NK (natural killer) & LAK (lymphokine activated killer) adalah sel yang secara non spesifik membunuh virus dan sel-sel tumor. Bukan bagian dari respon radang. d. EOSINOFIL adalah leukosit yang memiliki protein di dalam granula sel yang efektif untuk membunuh parasit-parasit tertentu. B. IMUNITAS ADAPTIF Gambar 2. Bagan Imunitas adaptif 1. IMUNITAS SELULER (oleh Limfosit T) Saat makrofag (imunitas bawaan) menelan antigen dan membunuhnya dan akan merangsang limfosit T mengenal antigen. Semua sel tertutup oleh berbagai substansi yaitu Cluster of differentiation (CD) yang jenisnya >160 cluster. Ada 100.000 molekul pada permukaan Sel T dan sel B. Molekul pada permukaan limfosit menyebabkan pembentukan reseptor yang bervariasi (ada 1018 macam reseptor). Sel T awalnya dari timus melalui 2 proses seleksi, yaitu Seleksi positif, hanya sel T yang cocok dengan reseptor yang dapat mengenal molekul MHC yang bertanggungjawab terhadap pengenalan “self” dan seleksi negative, dimulai ketika sel T yang dapat mengenal molekul MHC bergabung dengan peptide asing dikeluarkan dari timus. Ada beberapa macam sel T, yaitu
a. Sitotoksik atau Sel T Killer (CD8+), mengeluarkan limfotoksin yang menyebabkan lisis sel.

b. Sel T Helper (CD4+), mengeluarkan limfokin yang merangsang sel T Killer dan sel B untuk tumbuh dan membelah diri, memicu netrofil, memicu makrofag untuk menelan dan merusak mikroba.
c. Sel T Supressor, menghambat produksi sel T Killer jika tak dibutuhkan.
d. Sel T Memory, mengenal dan merespon pathogen.
2. IMUNITAS HUMORAL
a. Sel plasma menghasilkan antibodi atau immunoglobulin (Ig). Kelas Imunoglobulin adalah sebagai berikut:
• IgG proporsi 76%. IgG dapat menembus barier plasenta menuju janin dan memberikan imunitas pada masa awal kehidupan bayi. IgG dapat mengikat komplemen, Berikatan dengan sel (makrofag, monosit, netrofil dan beberapa limfosit memiliki Fc reseptor yang berikatan dengan regio Fc pada IgG). Sel yang terikat IgG lebih mengenal antigen. Ig menyiapkan antigen agar mudah ditelan oleh fagosit. Opsonin merupakan substansi yang memicu fagositosis.
• IgM proporsi 8%. IgM adalah Pengikat komplemen terbaik karena berstruktur pentamer. Oleh karena itu IgM sangat efisien untuk melisiskan mikroorganisme. IgM sangat membantu untuk menggumpalkan mikroorganisme untuk dikeluarkan.
• IgA proporsi 15%. IgA adalah imunoglobulin terbanyak pada sekresi (air mata, saliva, kolostrum, mukus) dan penting untuk imunitas lokal.
• IgD proporsi 1%. Secara primer IgD ditemukan pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen.
• IgE proporsi 0,002%. IgE Terlibat dalam reaksi alergi (akibat terikat kuat dengan basofil dan mast cell). Pengikatan alergen ke IgE pada sel menimbulkan pelepasan berbagai mediator yang mengakibatkan gejala alergi. IgE dapat melawan parasit cacing, Eosinofil berikatan dengan IgE kemudian menyelubungi cacing lalu membunuhnya.

b. Sel B memori
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen. Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.


BAB III
PATOLOGI IMUNITAS

Patologi imunitas adalah gangguan atau kelainan yang terjadi pada sistem kekebalan tubuh atau bentuk ketidaknormalan sistem pertahanan tubuh. Sistem kekebalan tubuh secara normal bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, yaitu:
A. HYPERSENSITIVITAS
Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitu merusak jaringan. Hypersensitivitas memiliki 4 Tipe, yaitu:
1. Hipersensitivitas Tipe I (Anafilaksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Antibodi akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and enzim).
a. Mediator Primer :
• Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
• Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
• ECF-A : Kemotaksis eosinofil
• NCF-A : Kemotaksis eosinofil
• proteases : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
b. Mediator Sekunder :
• Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
• Prostaglandins : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
• Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
• Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil


Gambar 3. Reaksi Hypersensitivitas type I
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 atau anafilaksis ada 2 macam, yaitu:
a. Anafilaksis lokal ( alergi atopik ), Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung dari tipe alergen yang masuk, misalnya :
• batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi (alergi rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa : bulu binatangm, debu, spora.
• Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi otot polos kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
• Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan. Makanan yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut.
b. Anafilaksis sistemik, Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon dari sel mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan. Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah.

2. Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi sitotoksik)
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi tipe II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien.


Gambar . reaksi hypersensitivitas type II

3. Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
b. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
c. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibody bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks.

Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

4. Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini tidak dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang membentuk kompleks dengan MHC tipe 1 atau tipe 2. sel penyaji antigen dalam reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan interferon, untuk menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin ini akan memediasi respon imun. Sel T CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan makrofag memproduksi enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya pathogen intraselular, akan membentuk sel raksasa multinukleus. Reaksi ini dapat terjadi karena :
• rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air, candidiasis, histoplasmosis
• reaksi akibat pengujian pada kulit
• kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
• diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
• sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron.
• adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima.


Gambar 5. reaksi hypersensitivitas type IV

B. DEFISIENSI IMUNITAS
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif atau gagal berfungsi. Kemampuan sistem imun untuk merespon patogen dapat berkurang pada golongan muda dan golongan tua, biasanya respon imun mulai berkurang pada usia sekitar 50 tahun karena immunosenescence. Di negara-negara berkembang, obesitas, penggunaan alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk. Namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA dan produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, dan B6, dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.

1. AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrome)
AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh HIV atau Human Imunodeficiency Virus. HIV yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Berdasarkan data yang ada ternyata transmisi terbanyak adalah melalui kontak seksual pada penderita homoseksual. Cara transmisi lainnya bisa melalui jarum suntik yang dipakai pecandu narkotika. Juga melalui transfusi darah seperti penderita hemofilia. Belum dibuktikan adanya transmisi malalui kulit, barang-barang rumah tangga atau melalui udara. Penularan dapat pula melalui kontaminasi selaput lendir oleh darah atau cairan tubuh penderita AIDS, melalui air susu ibu penderita AIDS kepada bayi atau melalui plasenta.
HIV Menyerang Limfosit T pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah.
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Penyakit AIDS dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Diagnostiknya berdasarkan adanya defisiensi imunitas seluler yang penyebab penyakitnya tidak diketahui dengan jelas. Karena gejala-gejala ini tidak spesifik untuk AIDS maka diperlukan anamnesis yang cermat mengenai faktor risikonya. Berdasarkan gejala kliniknya, AIDS diklasifikasikan sebagai berikut :
• Full Blown AIDS
Terlihat adanya kemunduran imunitas seluler lengan di-temukannya sarkoma Kaposi, radang paru-paru Pneumocystic carinii dan infeksi oportunistik lainnya. Penyebab kemunduran imunitas tersebut tidak diketahui dengan jelas.
• AIDS Related Complex
Penderita AIDS related complex (ARC) menunjukkan gejala limfadenopati yang tersebar luas, penurunan berat badan dengan cepat, febris, luka-luka di mulut, diare kronis, rasa lemah, limfopenia, anemia, idiopatik trombositopenia, pengurangan jumlah limfosit T4 serta pengurangan rasio T4/T8. Para penderita ini tidak ditemukan infeksi oportunistik dan sarkoma Kaposi.
• Chronic Lymphadenopathy Syndrome
Ditemukan limfadenopati pada laki-laki homoseksual minimal selama tiga bulan dan mengenai lebih dari dua kelenjar ekstrainguinal tanpa penyebab yang jelas.


2. DiGeorge Anomaly

Kelainan DiGeorge / DiGeorge Anomaly adalah gangguan kekurangan system kekebalan tubuh bawaan yang mana tidak adanya kelenjar thymus atau tidak terbentuk ketika lahir.
Biasanya, diGeorge anomaly berkaitan dengan ketidak normalan kromosom namun tidak selalu menurun. Janin tidak bertumbuh dengan normal, ketidak normalan jantung, kelenjar para tiroid, muka, dan kelenjar thymus seringkali terjadi. Kelenjar thymus sangat penting untuk pembentukan normal pada getah bening T. Sebagai konsekwensi, orang dengan gangguan ini memiliki jumlah getah bening T yang rendah, membatasi kemampuan mereka untuk melawan berbagai infeksi. Infeksi segera terjadi setelah lahir dan seringkali terulang.


C. AUTOIMUNITAS
Autoimmun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk. Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel.
Penyakit autoimmune tidak menyebar kepada individu lainnya sebagaimana penyakit infeksi. Gen individu penderita penyakit autoimmune memiliki konstribusi terhadap penularan penyakit autoimmune. Penyakit tertentu seperti Psoriasis dapat terjadi diantara beberapa anggota keluarga. individu anggota suatu keluarga dengan penyakit autoimmune dapat berperan dalam membentuk abnormalitas gen yang mendorong kejadian penyakit autoimmune walaupun mungkin menurunkan penyakit autoimmune dalam jenis penyakit autoimmune lainnya.

1. Multiple Sclerosis
Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari sistim syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi. MS merupakan suatu kelainan peradangan yang terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh banyak faktor terutama focal lymphocytic infiltration (sel T secara terus-menerus bermigrasi menuju lokasi dan melakukan penyerangan seperti yang layak terjadi pada setiap infeksi) dan berakibat pada kerusakan mielin dan akson.
Myelin adalah bagian dari saraf yang menyediakan suatu penutup atau isolasi untuk syaraf-syaraf, memperbaiki pengantaran (konduksi) dari impuls-impuls sepanjang syaraf-syaraf dan juga adalah penting untuk memelihara kesehatan dari syaraf-syaraf. Pada multiple sclerosis, peradangan menyebabkan myelin akhirnya menghilang. Sebagai konsekwensinya, impuls-impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-syaraf memperlambat, yaitu menjadi lebih perlahan. Sebagai tambahan, syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-syaraf yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti penglihatan, kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.


Gambar. Demyelisasi
Pada awalnya, setiap peradangan yang terjadi berangsur menjadi reda sehingga memungkinkan regenerasi selaput mielin. Pada saat ini, gejala awal MS masih berupa episode disfungsi neurologis yang berulang kali membaik. Walaupun demikian, dengan berselangnya waktu, sitokina yang disekresi oleh sel T akan mengaktivasi sejumlah mikroglia, dan astrosit sejenis fagosit yang bermukim pada jaringan otak dan sumsum tulang belakang, dan menyebabkan disfungsi sawar otak serta degenerasi saraf kronis yang berkelanjutan.
Secara klinis, akan terjadi akumulasi progresif seperti masalah penglihatan, kelemahan pada otot, penurunan daya indra, depresi, kesulitan koordinasi dan berbicara, rasa sakit dan bahkan kelumpuhan.
Secara paraklinis, akan terjadi kerusakan akson dan lebam pada otak dan sumsum tulang belakang akibat peradangan fase akut dan gliosis yang terjadi berulangkali pada akson dan glia. Rasio IL-12 dan IFN-gamma dalam darah juga mengalami peningkatan.



Gambar . gejala multiple sclerosis

Populasi umum mempunyai kurang dari satu persen kesempatan untuk pernah mendapatkan multiple sclerosis. Kesempatan meningkat pada keluarga-keluarga dimana seorang saudara derajat satu mempunyai penyakit ini. Jadi, seorang kakak/adik laki, kakak/adik perempuan, orangtua, atau anak dari seseorang dengan multiple sclerosis berkesempatan satu sampai tiga persen mengembangkan multiple sclerosis. Dengan cara yang sama, kembar dua yang identis mempunyai suatu kesempatan hampir 30% memperoleh multiple sclerosis sedangkan kembar dua yang tidak identis mempunyai hanya suatu kesempatan dari 4% jika kembaran yang satu mempunyai penyakit ini. Statistik ini menyarankan bahwa faktor-faktor genetik memainkan suatu peran utama pada multiple sclerosis.

2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya SLE harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.
Pasien-pasien dengan lupus memproduksi antibodi-antibodi yang abnormal didalam darahnya yang mentargetkan jaringan-jaringan didalam tubuhnya sendiri dari pada agen-agen menular asing. Karena antibodi-antibodi dan sel-sel peradangan yang mendampinginya dapat melibatkan jaringan-jaringan dimana saja didalam tubuh, lupus mempunyai potensi untuk mempengaruhi beragam area-area tubuh.
Lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga.
Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem kekebalan humoral. Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik.
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan pembuluh darah). Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh), neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku.



Gambar . Butterfly Rash

3. Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome
Sindrom Hyperimmunoglobulin E (sindrom hyper-IgE, atau sindrom Job-buckley) adalah gangguan imunodefisiensi menurun dengan kadar IgE sangat tinggi dan kadar normal pada kelas antibodi lain.
Pada kebanyakan orang dengan sindrom Hyperimmunoglobulinemia E, neutrofil-jenis sel darah putih yang juga fagosit adalah normal (fagosit sel yang mencerna dan membunuh bakteri). Penyebab tersebut tidak diketahui. Kulit, persendian, paru-paru, atau organ lainnya kemungkinan terinfeksi, biasanya dengan bakteri Saphylococcus.
Kebanyakan orang dengan gangguan ini mengalami tulang lemah dan oleh karena itu banyak keretakan. Beberapa orang mengalami gejala-gejala alergi, seperti eksim, hidung kaku,

PTOSIS

Definisi
Ptosis adalah kondisi kelopak mata yang tidak dapat membuka dengan optimal seperti mata normal ketika memandang lurus ke depan (Drooping eye lid). Secara fisik, ukuran bukaan kelopak mata pada ptosis lebih kecil dibanding mata normal. Normalnya kelopak mata terbuka adalah = 10 mm. Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior ( otot kelopak mata atas ). Rata – rata lebar fisura palpebra / celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Rata – rata diameter kornea secara horizontal adalah 12 mm, tetapi vertikal adalah = 11 mm. Bila tidak ada deviasi vertikal maka refleks cahaya pada kornea berada 5,5 mm dari batas limbus atas dan bawah. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas reflek cahaya pada kornea. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 1 atau 2 mm kebawah masih dapat dikatakan normal, termasuk ptosis ringan, jika menutupi kornea 3 mm termasuk ptosis sedang, dan jika menutupi kornea 4 mm termasuk ptosis berat.

Jenis / tipe ptosis
Ptosis secara garis besar dibagi menjadi 2 type:
1. Congenital Ptosis (dibawa sejak lahir).
2. Acquired Ptosis (didapat).

Ptosis kongenital ada sejak lahir dan biasanya mengenai satu mata dan hanya 25% mengenai ke 2 mata. Ptosis terjadi karena kesalahan pembentukan (maldevelopment) otot kelopak mata atas dan tidak adanya lipatan kelopak mata, tetapi kerusakan mendasarnya kemungkinan timbul pada persarafan dibandingkan otot itu sendiri, karena sering ditemukan lemahnya otot rektus superior yang dipersarafi oleh Saraf / Nervus III. . Ptosis yang terjadi pada masa perkembangan bayi dapat menyebabkan amblyopia, yang terjadi pada satu atau kedua mata dimana kelopak mata menutupi visual axis, terutama jika berhubungan dengan ptosis kongenital (ptosis yang didapat dari lahir). Amblyopia dari ptosis berhubungan dengan astigmatisme tinggi. Ptosis menimbulkan tekanan pada kelopak mata dan dengan waktu dapat merubah bentuk kornea yang menimbulkan cylinder tinggi. Anak – anak dengan congenital ptosis dan amblyopia harus dipertimbangkan untuk melakukan operasi ptosis, dan kelainan refraksi yang mereka miliki harus diterapi dengan kontak lens, dan untuk amblyopianya harus dilakukan terapi oklusi (tutup mata).
Acquired ptosis sering terlihat pada pasien berusia lanjut. Umumnya disebabkan bertambah panjangnya (stretching) otot levator palpebra (otot yang berfungsi mengangkat kelopak mata), trauma/pasca kecelakaan, pertambahan usia, pengguna contak lens dan luka karena penyakit tertentu seperti stroke, diabetes, tomor otak, kanker yang mempengaruhi saraf atau respon otot, horner sindrom dan myasthenia gravis.

Symptoms / Gejala
- Jatuhnya / menutupnya kelopak mata atas yang tidak normal.
- Kesulitan membuka mata secara normal.
- Peningkatan produksi air mata.
- Adanya gangguan penglihatan.
- Iritasi pada mata karena kornea terus tertekan kelopak mata.
- Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah belakang untuk mengangkat kelopak mata agar dapat melihat jelas.

Pemeriksaan
Ketika melakukan pemeriksaan, yang pertama kali diperhatikan adalah penyebab dari ptosis itu sendiri. Dibawa sejak lahir atau disebabkan oleh penyakit tertentu atau disebabkan oleh trauma. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan:
- Tes tajam penglihatan, tes kelainan refraksi, hasil refraksi dengan sikloplegic juga harus dicatat.
- Kelainan strabismus / mata juling.
- Produksi air mata (Schirmer test).
- Diameter pupil dan perbedaan warna iris pada kedua mata harus diperiksa pada kasus Horner Syndrome.
- Tinggi kelopak mata atau fissure palpebra diobservasi dan diukur. Pengukuran dilakukan dalam millimeter (mm), di ukur berapa besar mata terbuka pada saat melihat lurus / kedepan, melihat ke atas dan kebawah.
- Foto lama dari wajah dan mata pasien dapat dijadikan dokumentasi untuk melihat perubahan pada mata.

Treatment / pengobatan
Observasi hanya dibutuhkan pada kasus congenital ptosis sedang (mild congenital ptosis), jika tidak terdapat tanda amblyopia, strabismus dan jika terdapat ketidaknormalan posisi kepala.
• Pasien harus dievaluasi setiap 3 atau 4 bulan untuk menangani amblyopia pada congenital katarak. Foto luar mata dapat membantu memonitor pasien.
• Guliran kepala harus diperhatikan , jika pasien sering mengangkat dagunya (chin up posture), menandakan bertambah buruknya ptosis, disarankan untuk melakukan operasi.
• Pasien harus diperiksa akan adanya astigmatisme disebabkan tekanan dari kelopak mata.

Operasi ptosis/ surgical care
Ptosis biasanya tidak terperbaiki dengan waktu, dan membutuhkan operasi sebagai penyembuhan, khususnya operasi plastic dan reconstructive. Operasi ini ditujukan untuk memperkuat otot levator palpebra.
Koreksi ptosis dengan operasi pada kasus congenital ptosis dapat dilakukan pada berbagai usia, tergantung dari keparahan penyakitnya. Intervensi awal dibutuhkan jika terdapat tanda – tanda amblyopia dan ocular torticollis. Beberapa kasus ocular torticollis menghambat pergerakan (mobility) pada bayi dan anak – anak disebabkan masalah keseimbangan pada posture kepala dan dagu yang terangkat. Jika tidak terlalu mendesak /urgent, operasi dapat ditunda hingga usia 3 atau 4 tahun.

Prognosis/ masa depan
• Perbaikan congenital ptosis dengan operasi mengembalikan fungsi otot levator palpebra yang baik dan juga dari segi kosmetik.Dengan observasi dan pengobatan yang benar, amblyopia dapat diperbaiki dengan sukses.

Obstruksi Usus Pada Neonatus

Obstruksi usus pada neonatus mempunyai tempat tersendiri dalam penanganan obstruksi usus karena beberapa kondisi dapat merupakan suatu keadaan gawat darurat bedah yang paling sering pada neonatus dan menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang cukup menjadi tantangan para dokter bedah anak. Disamping itu sifat neonatus yang sangat rentan terhadap perubahan homeostasis, temperatur juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Keberhasilan penanganan neonatus dengan obstruksi usus tergantung pada diagnosa yang cepat dan terapi segera. Oleh karena itu, diagnosa yang tepat dan penanganan yang cepat adalah mutlak pada pasien-pasien obstruksi usus pada neonatus. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pasien pediatrik dengan kondisi obstruksi usus pertama kali datang kepada dokter spesialis anak. Bila dokter tersebut cepat mengenali masalah bedah pada pasien tersebut maka ia akan segera merujuk pasien tersebut kepada dokter bedah bedah anak sehingga pasien bisa segera mendapat penanganan bedah. Sebaliknya bila dokter spesialis anak tersebut tidak mengenali masalah bedah pada pasien tersebut tentu akan terlambat ia merujuk pasien ke dokter bedah / bedah anak dan akan terlambat pula penanganan bedah pasien ini dan mungkin berakhir dengan morbiditas atau bahkan kematian.

Obstruksi total pada anak merupakan salah satu bentuk akut abdomen yang memerlukan diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat. Angka insidensinya belum ada yang menjelaskan secara nominal tanpa melihat etiologinya, sedangkan berdasarkan etiologi adhesi didapatkan 10-15% dari seluruh obstruksi usus. Angka kejadian obstruksi pada anak berdasarkan penyebabnya frequensi berbeda-beda berdasarkan keadaan atau penyakit yang mendasarinya , seperti yang sudah pernah dilaporkan fallat bahwa intususpsi merupakan penyebab obstruksi pada anak yang sering, keadaan lainnya seperti stenosis duodenum, hernia inkarserata juga dapat menyebabkan obstruksi dengan frequensi yang lebih kecil, Anderson menyatakan bahwa intususepsi merupakan penyebab yang umum terjadi pada kasus bedah anak.

Keadaan obstruksi gastrointestinal ini dapat kita bagi dalam 3 kategori yaitu letak tinggi, medium dan rendah yang masingmasing memberikan gambaran yang khas. Penatalaksanaan obstruksi total pada prinsipnya adalah mengembalikan pasase usu agar jadi baik kembali meskipun tindakan bervariasi berdasarkan penyakit yang mendasarinya dan temuan durante operasinya, yang tidak melupakan sebelumnya untuk memperhatikan tiga stabilitas, agar outcomenya dapat memberikan hasil yang memuaskan .

Obstruksi total merupakan salah satu keadaan akut abdomen yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, diagnosis dapat dengan cepat dan tepat bila kita mengetahui gejala-gejala obstruksinya yaitu S (sakit) OK (kembung) M (muntah) A (abdominal sign) berdasarkan inspeksi palpasi perkusi dan auskultasi . (obstipasi)

Etiologi obstruksi berbagai sebab penyakit yang mendasarinya, prinsipnya ialah adanya gangguan pasase pada saluran gastrointestinal antara lain :

Gangguan gastric outlet (aplasia pylorus, atresia pylorus, stenosis pylorus dan stenosis pilorika hipertropi),

Pada duodenum (atresia duodenum, stenosis duodenum dan pankreas anular), mekoneum ileus, atresia ani, megacolon kongenital, invaginasi, hernia diafragmatika, adhesiva

Gambaran klinis pada obstruksi umumnya sama hanya ada beberapa sfesifitas tertentu berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Secara umum dapat dibagi gambaran klinis

Obstruksi letak tinggi, disini akan lebih dominan muntah ( yang bersifat frequen dan proyektil ) sedangkan pada pemeriksaan fisik kemungkinan akan didapatkan abdomen scapoid.

Obstruksi letak medium dapat didapatkam muntah tetapi tidak frequen dan obstipasi yang gejalanya tidak saling dominan,

Obstruksi letak rendah akan lebih dominan obstipasinya dan gambaran abdomen yang khas yaitu distensi, darm contour dan darm staifung

Cara mendiagnosis obstruksi dapat dengan mudah dikenali bila kita mengenali tanda-tanda obstrksi yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberpa etiologi untuk dapat dengan pasti kita harus memerlukan pemeriksaan penunjang mulai pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi, contoh untuk pemeriksaan penunjang akan bervariasi sesuari etiologi yang mendasarinya seperti SPH gambaran OMDnya stringsign(+), stenosis duodenum gambaran OMDnya double bubble (+) sedangkan pada atresia duodenum atau aplasi gaster single bubble (+). Pada invaginasi pada palpasi didpatkan sousage sign, dancing sign, pada hernia diafragmatika tampak gambaran usus pada rongga thorak (pada baby grama atau ro thoraks).

Penanganan obstuksi adalah dengan cara operatif sesuai dengan kausanya, tindakan ini dapat berupa tindakan sementara yang kemudian akan dilakukan operasi definitif waktu selanjutnya atau satu kali tindakan operasi langsung tindakan definitf.

Tindakan operasi penyebab obstruksi total pada anak
Kausa obstruksi total Tindakan operasi
HIL Dextra Inkarserata Herniotomi
Megacolon Congenital Sigmoidostomi
Atresia Ani Transvesocoloctomi dextra
Invaginasi Laparotomi explorasi Milking
HIL sinistra Inkarserata Herniotomi
Stenosis Duodenum Shunt anastosmose Duodeno duodenostomi
Atresia Duodenum Reseksi-anastosmose Duodeno-duodenostomi
Adhesive Laparotomi explorasi Adhesiolisis
Hernia Diafragmatika Laparotomi explorasi tutup defek
Post Boley Prosedure Laparotomi explorasi abdominal perineal pulltrough
Total Colon Aganglionik Ileostomi
Pankreas Anular Reseksi-anastosmosi Duodeno-duodenostomi


Penanganan etiologi tersebut diatas ada yang bersifat sementara (untuk menjaga kelancaran pasase usus) yang selanjutnya akan dilakukan operasi definitif dan pada kasus –kasus tertentu tindakan sudah langsung tindakan operatif definitif, ada 2 pasien yang meninggal sebelum dioperasi karena datang terlambat dan sepsis.

Etiologi

Penyebab obstruksi usus dapat berupa kelainan kongenital dan sering terjadi pada periode neonatal. Sebagai contoh atresia usus (atresia duodenum, jejuno-ileal, atresia rekti dan lain-lain), intestinal aganglionosis, mekonium ileus, atau duplikasi intestinal.

Penyebab / kelainan didapat (acquired) diantaranya intususepsi, obstruksi usus sebagai konsekuensi dari kelainan bawaan lain misalnya volvulus midgut karena adanya malrotasi, hernia inguinal lateral yang mengalami inkarserata atau sebagai konsekuensi dari inflamasi intra abdomen misalnya abses appendiks, striktur usus akibat NEC (Neonatal enterocolitis). Penyakit neoplastik dapat pula menyebabkan obstruksi usus. Limfoma maligna merupakan neoplasma maligna yang paling sering menyebabkan obstruksi usus halus dan polip usus merupakan neoplasma jinak tersering sebagai penyebab obstruksi usus pada anak.

Akhir-akhir ini terdapat peningkatan insidensi karsinoma kolon pada anak dan tipe yang sering ditemukan adalah karsinoma jenis signet ring cell yang tingkat keganasannya sangat tinggi. Adhesi usus setelah tindakan laparotomi adalah kelainan didapat lainnya yang bisa menyebabkan obstruksi usus halus. Setiap anak yang pernah menjalani operasi laparotomi mempunyai risiko untuk terjadinya adhesi usus halus. Kira-kira 70% kejadian obstruksi disebabkan oleh adhesi tunggal

Di bawah ini adalah beberapa penyebab obstruksi usus pada pasien pediatrik.

Obstruksi setinggi gaster:

Volvulus gaster

Gastric outlet obstruction ( hypertropic pyloric stenosis, atresia pylorus, bezoar)

Obstruksi setinggi duodenum:

Intrinsik (Atresia duodenum, web, stenosis)

Ekstrinsik /kompresi eksternal (pancreas anular, preduodenal portal vein)

Stenosis duodenum

Volvulus midgut pada malrotasi

Obstruksi setinggi jejenoileal:

atresia jejuno-ileal

adhesi

mekonium ileus

intususepsi

komplikasi dari divertikel Meckel

Obstruksi setinggi kolon rektum:

morbus Hirschsprung

atresia kolon, rektum

malformasi anorektal

meconium plug syndrome

mekonium ileus

karsinoma kolo-rektal

Klasifikasi

Tipe obstruksi terdiri dari obstruksi simpel dan strangulasi. Obstruksi simpel terjadi bila salah satu ujung usus mengalami bendungan. Obstruksi ini dapat parsial maupun total. Bila pada segmen usus terbendung pada bagian proksimal dan distal maka kondisi ini disebut closed loop obstruction. Kondisi ini dapat terjadi pada herniasi loop usus melalui celah sempit seperti hernia inguinal indirek atau defek mesenterial atau pita adhesi (Adhesive band). Closed loop obstruction dapat terjadi pula pada kolon yang mengalami obstruksi pada bagian distal dimana katup ileosaekal masih intak.

Obstruksi usus strangulasi terjadi bila sirkulasi menuju segmen usus yang terbendung terganggu sehingga terjadi iskemi yang dapat berlanjut menjadi ganggren bila tidak segera dilakukan koreksi bedah. Volvulus dimana suplai darah mesenterial mengalami puntiran adalah salah satu contoh obstruksi strangulasi yang jelas. Contoh lainnya adalah kondisi closed loop obstruction.

Diagnosis

Evaluasi diagnostik obstruksi usus harus cepat karena beberapa penyebab dapat menimbulkan iskemi (obstruksi strangulasi) yang kemudian potensial untuk terjadi nekrosis dan gangren usus. Gejala kardinal obstruksi usus terdiri dari muntah, distensi abdominal, nyeri abdomen yang bersifat kolik dan obstipasi.

Pada neonatus polihidramion maternal dan tidak keluarnya mekonium pada neonatus merupakan tanda kardinal lain yang penting. Gejala tersebut dapat bermanifestasi dalam berbagai tingkat berat gejala. Kadang-kadang tanda dan gejala dapat tidak jelas dan tidak spesifik terutama pada neonatus. Kebanyakan penyebab obstruksi usus dapat didiagnosa dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis sederhana

Muntah atau aspirat lambung dapat memberikan informasi yang penting bagi dokter anak / Bedah Anak dalam diagnosa kelainan gastrointestinal. Warna muntah yang tidak bersifat bilious bila dicurigai disebabkan kelainan bedah menggambarkan obstruksi diatas level ampula Vater.Muntah yang bersifat bilious tidak selalu disebabkan oleh obstruksi, tetapi bila ada kecurigaan obstruksi gejala tersebut menunjukan level obstruksi distal dari ampula Vater. Kira-kira 85% atresia jejunum memperlihatkan muntah bilious. Sebagai pegangan, anak yang mengalami muntah bilious harus dipertimbangkan adanya obsruksi usus sampai terbukti tidak

Pemeriksaan Fisik

Distensi abdomen yang terlokalisir pada epigastrium menggambarkan level obstruksi pada usus proksimal misalnya volvulus gaster, volvulus midgut, Hypertropic pyloric stenosis atau atresia duodenum. Sedangkan distensi abdomen menyeluruh menggambarkan level obstruksi yang lebih distal seperti atresia ileum, atresia kolon, morbus Hirschsprung dan lain lain.

Pada inspeksi kadang-kadang dapat terlihat kontur usus dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik. Adanya parut bekas operasi pada abdomen dapat mengarahkan kita pada kecurigaan adhesi usus sebagai penyebab Inspeksi daerah inguinal atau perineal mungkin dapat menemukan adanya hernia atau malformasi anorektal sebagai penyebab.

Palpasi kadang dapat membantu diagnosa misalnya olive sign pada 62 % pasien dengan Hypertropic Pyloric Stenosis, massa pada intususepsi, infiltrat pada inflamasi intra abdomen, tumor intra abdomen dan lain-lain.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Rontgen

Foto polos abdomen datar dan tegak harus dibuat untuk mencari penyebab obstruksi. Pada anak yang sakit berat dan lemah dapat dilakukan foto left lateral decubitus sebagai pengganti posisi tegak. Pola distribusi gas abdomen dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi usus proksimal dan distal. Makin distal letak obstruksi, makin banyak jumlah loop usus yang distensi dan air fluid level akan tampak.

Foto kontras barium enema dapat memperlihatkan perbedaan antara distensi ileum dan kolon, melihat apakah kolon pernah terpakai atau tidak/ unused (mikrokolon) dan dapat pula mengevaluasi lokasi sekum untuk kemungkinan kelainan rotasi usus6. Pemeriksaan kontras oral mungkin bermanfaat pada kondisi obstruksi usus parsial. Tetapi pada kondisi obstruksi total pemeriksaan ini merupakan kontra indikasi6. Atresia duodenum merupakan penyebab tersering obstruksi usus proksimal memperlihatkan gambaran spesifik double bubble dengan air fluid level tanpa udara di bagian distal

Pada atresia jejunum proksimal terlihat beberapa gelembung udara air-fluid level) dan pada bagian distal dari obstruksi tidak ada udara. . Semakin distal lokasi segmen atretik semakin banyak jumlah gelembung yang terlihat Jika ditemukan lebih banyak gelembung / loop usus berisi udara tetapi tidak terlihat udara di rektum, maka level obstruksi usus lebih distal. Malrotasi dengan volvulus midgut dapat memperlihatkan gambaran dilatasi lambung dan duodenum yang membesar, sedangkan usus halus terlihat berisi udara sedikit-sedikit yang tersebar (Scattered). Gambaran seperti paruh burung (bird’s beak sign) dapat terlihat pada barium enema.

Pemeriksaan Ultrasonogafi

Ultrasonografi dapat membantu menegakkan diagnosa pasien dengan massa di abdominal. Pada Hypertropic Pyloric Stenosis USG merupakan gold standard untuk diagnostik dengan kriteria diagnosa diameter pilorus lebih dari 14 mm, kanal pylorus ≥ 16 mm dan tebal otot pylorus ≥ 4 mm5. Dengan USG intussusepsi ditegakkan bila terlihat target sign pada penampang melintang dan pseudokidney sign pada penampang longitudinal. USG dapat pula membantu menegakkan diagnosa obstruksi usus yang disebabkan tumor intra abdomen, atau proses inflamasi seperti abses apendiks yang menyebabkan obstruksi. Pemeriksaan foto kontras barium (Upper GI) dapat memperlihatkan elongasi kanal pilorus dan indentasi garis antrum (shoulders sign )

Tatalaksana Obstruksi Usus

Tatalaksana Pra-Operasi

Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau orogastrik dengan ukuran yang adekuat, pemberian antibiotik intravena. Termoregulasi, pencegahan terhadap hipotermi penting sekali pada pasien pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh dilupakan untuk identifikasi kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab obstruksi adalah kelainan kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan kongenital dapat disertai kelainan kongenital lain (VACTER), sehingga perlu dicari karena mungkin memerlukan penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa dehidrasi isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan ekstraselular adalah Ringer asetat.

Tetapi pada Hypertropic Pyloric Stenosis karena dehidrasi yang terjadi bersifat hipokloremik dengan alkalosis hipokalemik sehingga bukan cairan ringer asetat yang dipakai melainkan cairan NaCl dengan tambahan KCl . Cairan yang keluar dari nasogastrik juga harus diganti dengan Ringer asetat atau NaCl sesuai volume9,11. Ringer asetat dipakai sebagai pengganti cairan yang bersifat bilious, sebaliknya bila cairan bening cairan NaCl digunakan sebagai pengganti.

Nasogastic tube (NGT) atau orogastrik tube(OGT) dengan ukuran yang adekuat sangat bermanfaat untuk dekompresi dan mencegah aspirasi. Orogastric tube lebih dipilih untuk pasien neonatus karena neonatus bernapas lebih dominan melalui lubang hidung. Dekompresi dengan NGT / OGT kadang dapat menolong dan menghindarkan pembedahan pada pasien obstruksi usus parsial karena adhesi pasca pembedahan.

Antibiotik intravena untuk bakteri-bakteri usus hampir selalu perlu diberikan pada pasien-pasien yang mengalami obstruksi usus. Antibiotik ini dapat bersifat profilaktif atau terapeutik bila lamanya obstruksi usus telah memungkinkan terjadinya translokasi flora usus.

Tatalaksana Bedah

Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus adalah tindakan pembedahan. Penanganan konservatif atau non-operatif dapat dilakukan pada beberapa penyebab seperti meconium ileus dan adhesi usus pasca laparotomi dan intususepsi. Gastrografin enema digunakan sebagai penanganan nonoperatif pada meconium ileu9, sedangkan pada adhesi dengan obstruksi usus parsial dapat dicoba dekompresi konservatif. Tujuan utama penanganan ini adalah pembebasan obstruksi sebelum terjadi trauma iskemik usus. Jadi bila tidak tercapai perbaikan dalam 12 jam maka harus segera dilakukan tindakan pembedahan. Pada intussusepsi reduksi hidrostatik dengan barium (fluoroscopy- guided) atau NaCl (USG-guided) patut dilakukan selama tidak terdapat kontraindikasi. Bila usaha tersebut gagal, pembedahan adalah jalan keluarnya. Tatalaksana bedah amat bervariasi tergantung kepada jenis penyebab obstruksi ususnya. Pada Hypertropic Pyloric Stenosis, pyloromyotomy merupakan tindakan bedah pilihan.

Pada obstruksi setinggi duodenum insisi transversal supraumbilikus memberikan akses terbaik untuk mencapai duodenum. Pilihan tindakan tergantung situasi anatomis intraoperatif. Pada obstruksi yang disebabkan oleh atresia atau pankreas annulare, duodeno-duodenostomi adalah pilihan tindakan bedah terbaik. Sebaiknya duodenojejenostomi tidak dilakukan karena dengan tehnik ini bagian distal duodenum dieksklusi dan dianggap prosedur yang tidak fisiologis. Sedangkan bila penyebab obstruksinya berupa duodenal web atau diafragma duodenum, duodenotomi vertikal dan eksisi dari web tersebut (septectomy) adalah pilihan terbaik. Pada saat eksisi webinjury pada ampula Vater. Tekanan ringan pada kantung empedu dilakukan untuk mengidentifikasi ampula Vater dengan melihat keluarnya cairan empedu. Bila eksisi komplit tidak memungkinkan, maka eksisi parsial dengan meninggalkan segmen bagian medial yang mengandung bagian terminal dari duktus koledokus. perlu diingat untuk menghindari

Setelah prosedur tersebut jangan lupa untuk menilai ulang kemungkinan adanya obstruksi tambahan lainnya dengan cara melewatkan kateter 8 fr ke proksimal dan distal. Bila telah yakin tidak ada obstruksi lainnya maka duodenotomi segera dijahit kembali15. Ladd’s procedure dikerjakan pada obstruksi duodenum yang disebabkan oleh Ladd’s band dengan cara memotong adhesinya, melepaskan adhesi antara usus dan peritoneum parietal dan antara usus dan usus, mobilisasi sekum dan menempatkan kolon pada abdomen kiri. Apendiks sebaiknya diangkat untuk menghindari kesulitan diagnosis apendisitis dikemudian hari.

Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra umbilikal juga merupakan akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan patologi, seperti tipe atresia, panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi dan volvulus, mekonium peritonitis, mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila terdapat perforasi seluruh rongga abdomen diirigasi dengan NaCl hangat, semua debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya semua usus dieksteriorisasi. Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid untuk mencari area atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau mekonium ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.

Prosedur operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-anastomosis. Berdasarkan sejarah dan bukti-bukti eksperimental prosedur yang dianjurkan berkembang dari eksteriorisasi menjadi anastomesis side-to-side, kemudian end-to-end atau end-to-side, dan terakhir : reseksi segmen atretik proksimal yang dilatasi dan hipertofi diikuti anastomosis end-to-end/ end-to-back dengan atau tanpa tailoring segmen proksimal. Perlu diingat bahwa segmen atresia proksimal yang berdilatasi dan hipertrofi dapat menyebabkan kembalinya fungsi peristaltik yang terlambat setelah koreksi anastomosis sehingga reseksi bulbus proksimal segmen atretik perlu dilakukan agar hasilnya memuaskan

Tatalaksana Pasca Operatif Obstruksi Usus

Meskipun laparotomi pada bayi atau anak memberikan stres yang signifikan kepada pasien, kebanyakan pasien berangsur membaik setelah koreksi bedah terhadap penyebab obstruksi ususnya. Pada periode pasca operatif awal, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, metabolisme glukosa dan gangguan respirasi biasa terjadi. Kebanyakan bayi yang menjalani operasi laparotomi biasanya mengalami sekuestrasi cairan ke rongga ketiga dan ini memerlukan tambahan jumlah cairan pada periode pasca operatif. Kebutuhan pemeliharaan disesuaikan dengan kondisi pasien. Semua kehilangan cairan tubuh harus diperhitungkan. Kehilangan cairan melalui muntah, NGT, ileostomi, atau jejenostomi harus diganti sesuai volume yang hilang. Swenson menyebutkan untuk berhati-hati dalam instruksi pasca operasi! Tidak ada istilah ‘rutin’ dalam intruksi pasca operasi terhadap bayi atau anak. Semua dosis obat, elektrolit atau cairan untuk terapi harus dikalkulasi secara individual dengan mempertimbangkan berat badan, umur atau kebutuhan metabolic

Dekompresi nasogastrik dengan ukuran yang adekuat sampai tercapai fungsi usus yang normal merupakan bantuan yang tak dapat dipungkiri dalam dekompresi bagian proksimal usus dan fasilitasi penyembuhan anastomosis usus. Ileus hampir selalu terjadi pada pasien pasca operasi dengan obstruksi usus. Pada atresia duodenum atau atresia jejunoileal misalnya, ileus yang memanjang dapat terjadi lebih dari 5 hari. Swenson menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat lambat sekali bila duodenum sangat berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat keluar dari nasogastrik dalam periode waktu yang memanjang. Hal ini disebabkan bukan hanya karena edema di daerah anastomosis tetapi juga karena terganggunya peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang mengalami dilatasi hebat15. Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan re-operasi pada bayi dengan ‘obstruksi’ anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen atau disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang memanjang.

Permulaan asupan melalui oral dengan air gula / dextrose dapat dimulai bila drainase gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang kemudian diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila program feeding tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang memanjang maka nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga kecukupan asupan nutrisi pasca operasi.

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI DAN ANAK

PENDAHULUAN
Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan metabolik yang sering terjadi pada
pada bayi dan anak, namun dalam kepustakaan tentang hipoglikemia pada bayi dan anak
terutama mengenai diagnosis dalam keadaan kegawatan dan pengobatannya tetap masih
kontroversi. Apalagi bila pasien datang dalam keadaan meragukan, dokter anak kadang
sulit menentukan kapan mulai dilakukan pemeriksaan untuk tes diagnostik.
Penyebab hipoglikemia seringkali sangat kompleks, bermacam-macam dan unik,
sehingga evaluasi dan pengelolaannya membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang
mekanisme fisiologik yang mempertahankan keadaan euglikemia.
Disini dibicarakan mengenai masalah hipoglikemia pada bayi dan anak, beberapa
penyebabnya dan efek yang merugikan pada susunan syaraf pusat, sehingga dapat
memberikan sumbangan pada pendekatan klinis untuk pengelolaan dan pengobatan
hipoglikemia pada bayi dan anak.
SINONIM: Glukopenia
SEJARAH
Pada tahun 1914 Hilliger di Eropa telah melaporkan hubungan antara kadar gula
darah rendah dan morbiditas / mortalitas pada anak wanita 5 tahun dengan muntah
berulang dan ketonemia, gejalanya berulang bila puasa khususnya bila masukan
karbohidrat dibatasi.
Tahun 1920 Dubreuil dan Anderodias di Prancis, pertama kali secara formal
melaporkan adanya perubahan pankreas bayi yang lahir dari ibu diabetes. Dilaporkan
bayi wanita berat badan 5 kg, meninggal tidak lama setelah lahir, pada pemeriksaan post
mortem ditemukan hepar sangat membesar dan volume sel pankreas mencapai 8 kali
normal. Mereka berpostulasi bahwa hiperglikemia maternal menyebabkan hiperplasia sel
islet bayi, hal ini dihubungkan dengan kematian bayi tersebut.
Di Amerika pada tahun 1924, Ross dan Josephs di RS Johns Hopkins, melaporkan
seorang anak muntah berulang dengan hipoglikemia dan (keto)asidosis metabolik saat
infeksi akut, didiagnosis sebagai hipoglikemia ketotik.
Josephs pada tahun 1926, melaporkan 5 anak dengan episode muntah berulang
yang berhubungan dengan hipoglikemia, kemudian dibuat hipotesis bahwa hal tersebut
karena cadangan glukosa kurang setelah terkena penyakit akut dan kelaparan relatif. Pada
tahun yang sama, Gray dan Feemster dari Universitas Washington melaporkan bayi
wanita dari ibu berumur 44 tahun penderita diabetes tergantung insulin, kontrol sangat
buruk dalam 15 tahun terakhir, menderita nefritis dan toksemia gravidarum berat,
meninggal 5 hari setelah melahirkan bayi berbobot 3,300 kg pada kehamilan 36 minggu.
Pemeriksaan fisik bayi saat lahir normal, pada hari ke 3 bayi mulai muntah dan berat
badan menurun drastis, hari ke 4, bayi pucat yang aneh dan meninggal. Pada pemeriksaan
postmortem, ditemukan “hipertrofi dan hiperplasia pulau Langerhans pankreas”, juga
ditemukan “hipertrofi sel medula adrenal”. Diperkirakan volume jaringan pankreas 24
kali normal. Sebagai tambahan bayi tersebut mempunyai ureter dan pelvis ganda
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

bilateral, temuan ini banyak pada bayi dari ibu diabetes. Mereka berpostulasi, bahwa
hiperglikemia maternal mungkin sebagai etiologi hipertrofi dan hiperplasia sel islet bayi.
Dengan menggunakan metoda pada jaman itu, mereka melaporkan batas bawah glukosa
darah normal bayi baru lahir adalah 90 mg/dL, dan dilaporkan bayi tersebut glukosa
darahnya 67 mg/dL sehari sebelum meninggal.
Pada tahun 1937, Hartmann dan Jaudon berpostulasi bahwa “manifestasi klinis
hipoglikemia adalah akibat kekurangan dekstrosa pada sistem saraf pusat”
.
[1]
Pada pertengahan tahun 1950an, penelitian perintis oleh Cornblath, Lubchenko,
McQuarrie dkk memperluas pemahaman kita tentang hubungan antara hipoglikemia pada
bayi baru lahir dan mortalitas yang menyertainya. McQuarrie (1954) melaporkan
sindroma “bayi hipoglikemia idiopatik”. Ia menguraikan konsep umpan balik hormon,
yaitu kortisol, hormon pertumbuhan, glukagon, epinefrin dan mungkin tiroksin dan
steroid gonad bekerja melawan insulin, dan sekresi insulin yang berlebihan atau
defisiensi hormon yang melawan insulin dapat berakibat hipoglikemia. Insufisiensi
adrenal, hipopituitarisme, penyakit “Glycogen storage”, hipotiroidisme, tumor sel ß
pankreas, galaktosemia dan bayi lahir dari ibu diabetes merupakan etiologi 15 dari 40
anak di RS Universitas Minnesota tahun 1942-1954. Duapuluh lima kasus dilaporkan
sebagai hipoglikemia spontan dan persisten, dengan penyebab yang tidak diketahui
.
[2]
Pemahaman kita tentang etiologi hipoglikemia sekarang telah maju karena tehnik
mengukur hormon dan metabolitnya lebih baik, demikian juga fisiologi homeostasis
glukosa, sehingga dapat mengarah pada klasifikasi penyebab hipoglikemia yang lebih
lengkap, diharapkan pengelolaannya lebih spesifik.
DEFINISI
Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab yang sangat luas,
sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa plasma yang akhirnya menyebabkan
neuroglikopenia
. Definisi hipoglikemia pada neonatus masih tidak ada kesesuaian,
[3]
baik dalam buku teks maupun dalam journal, sehingga definisinya dibuat dari berbagai
sudut pandang
. Secara statistik, disebut nilai rendah bila dibawah 2 SD dari rerata
[4-6]
populasi sehat. Dengan pendekatan ini ternyata banyak kendala bila diterapkan untuk
menentukan hipoglikemia. Pertama, hasil tergantung pada asal sampel darah, metoda
pemeriksaan, dan sampel diambil dari plasma atau perifer. Kedua, Dalam penelitiannya
Sexson (1984) mendapatkan jadwal “early feeding” sangat berpengaruh pada kadar gula
darah, dan ini sangat bervariasi dari rumah sakit satu kerumah sakit yang lain, dan jumlah
ASI yang diberikan juga sangat bervariasi
. Ketiga, Hawdon, dkk (1992) dalam salah
[7]
satu penelitiannya menyebutkan, bahwa menentukan “bayi sehat” sangat sulit, karena
dalam penelitian tersebut mendapatkan 72% bayi baru lahir mempunyai satu atau lebih
risiko terjadi hipoglikemia
. Keempat, bila dilakukan penelitian longitudinal untuk
[8]
menentukan rentang normal kadar gula darah pada bayi sehat, ini merupakan dilemma
etika, sehingga yang memungkinkan dilakukan penelitian belah lintang untuk bayi yang
menyusui
. Berdasar pendekatan klinis: 1. berdasar manifestasi klinis, 2. berdasar
[8]
pendekatan epidemiologis, 3. berdasar perubahan akut pada respon sistem metabolik dan
endokrin serta fungsi neurologik, dan 4. berdasar keluaran neurologik jangka panjang.
Namun semuanya tidak ada yang memuaskan, dan semuanya sering menimbulkan
interpretasi yang salah. Pendekatan berdasar gejala klinis tidak tepat karena banyak
manifestasi klinis yang sama dengan problem neonatus yang lain. Pendekatan
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

epidemiologik dapat juga menyebabkan kesalahan interpretasi dengan menggunakan titik
batas yang hampir sama antara normoglikemia dan hipo atau hiperglikemia, karena
hipoglikemia menggambarkan kelainan biologik yang dapat terjadi dalam rentang ringan
sampai berat serta data yang diambil hanya dalam kelompok kecil. Sedangkan berdasar
keluaran neurologik, sangat terbatas karena kurangnya kontrol kasus non hipoglikemi
yang diamati, dan kurangnya permeriksaan patologi dan hanya sejumlah kecil saja kasus
hipoglikemi asimptomatik yang diamati
[5]
Cornblath & Reisner (1965) pertama kali yang mempublikasikan kadar gula darah
pada bayi normal, mereka mendapatkan 95% bayi cukup bulan >30 mg / dl dan 98.4%
bayi prematur >20 mg / dl. Mereka mendefinisikan hipoglikemia untuk bayi cukup bulan,
bila kadar gula darahnya kurang dari 30 mg / dl dalam 48 jam pertama dan 40-50 mg / dl
setelah usia 48 jam setelah lahir. Bayi SGA tidak termasuk dalam kelompok ini. Untuk
bayi berat badan lahir rendah, didefinisikan hipoglikemia, bila kadar gula darah <20 mg /
dl. Nilai inilah yang mendominasi pendapat untuk pengelolaan hipoglikemia neonatal
sampai bertahun-tahun
. Penelitian lain, menunjukkan bahwa kecuali pada jam
[9, 10]
pertama kehidupan, baik pada bayi prematur maupun genap bulan yang diberikan minum
susu seawal mungkin sangat jarang kadar gula darahnya kurang dari 40 mg/dL
.
[11]
Hoseth E, dkk (2000) dalam penelitiannya pada 223 bayi sehat, aterm, dan
mendapatkan ASI, kadar nilai tengah gula darah saat lahir 3,1 mmol / L (rentang 1,4 –
5,3), yang diambil dari umbilikus 4,9 mmol / L (rentang 1,9 – 7,4). Dalam 24 jam
pertama, nilai tengah 3,0 mmol / L (rentang 1,4 – 4,9). Setelah 24 jam pertama setelah
lahir nilai tengahnya 3,4 mm0l / L (rentang 2,1 – 5,3)
. Pada minggu pertama
[12]
kehidupan, bayi yang mendapat ASI kadar gula darahnya lebih rendah secara bermakna
(rerata 3,6 mmol/l dengan rentang 1,5 – 5,3) dibanding yang minum susu formula (rerata
4,0 mmol/L dengan rentang 2,5 – 6,2)
.
[13]
Bilamana glukosa dipandang dari segi sebagai bahan bakar metabolik pokok,
maka sebaiknya digunakan kadar yang aman. Banyak penulis menganjurkan kriteria
hipoglikemia untuk bayi dan anak bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dL, beberapa
penulis dengan kriteria lebih tinggi, 47 mg/dL (2.6 mmol/L). Sehingga pendekatan yang
aman pada bayi dan anak dengan kadar glukosa kurang dari 50 mg/dL harus dipantau
dengan baik, bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dL, maka harus dimulai tindakan
untuk menegakkan diagnosis dan mulai diberikan terapi. Bila pengukuran kadar glukosa
digunakan glukometer, maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan yang lebih akurat,
karena kadar glukosa pada “whole blood” lebih rendah 15% bila dibanding kadar dalam
serum atau plasma
. Dalam kesimpulan diskusi mengenai “hipoglikemia pada neonatus
[14]
membutuhkan definisi yang rasional”, jangan gunakan konsep “cutoff” kadar glukosa
darah untuk menentukan hipoglikemia
.
[4]
Dengan memperhatikan pertanyaan ”kapan disebut hipoglikemia?”, kadar glukosa
plasma pada bayi, anak dan dewasa kadar normalnya 70 – 100 mg/dL; ditemukan tanda
hipoglikemia neurofisiologik pada kadar 50 – 70 mg/dL; definisi hipoglikemia berat bila
kurang dari 40 mg/dL, dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL
.
[15]
INSIDENS
Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi baru
lahir berkisar antara 1 – 5 /1000 kelahiran hidup
. Pada bayi yang lahir dari ibu
[9, 16]
diabetes 8% - 25%
, pada bayi preterm 15%, secara umum pada bayi risiko tinggi
[6, 16]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

30% terjadi hipoglikemia
. Gutbenlet and Cornbbath, mengevaluasi hipoglikemia
[16]
secara prospektif dari tahun 1971 – 1973, mendapatkan insiden pada neonatus 4,4 / 1000
kelahiran hidup, untuk BBLR 15,6 / 1000 BBLR. Data pada anak yang lebih besar tidak
ada, namun diperkirakan 2 – 3 /1000 anak yang dirawat di rumah sakit
. Guthrie R
[17]
(1970), dalam penelitiannya pada bayi risiko tinggi, mendapatkan insidens hipoglikemia
asimptomatik 7,5%
. Osler FHA, dkk. (2003), meneliti di ruang perawatan anak
[18]
Rumah sakit di distrik Kilifi, Kenyan, pada pasien yang masuk di rumah sakit,
mendapatkan prevalensi hipoglikemia pada non neonatus 7,3%, sebagian besar karena
penyakit berat, malnutrisi dan malaria. Pada neonatus insdens 23%, sebagian besar
karena berat badan lahir rendah
. Wintergerst, KA (2006) dalam penelitiannya di
[19]
rumah sakit anak ”Packard” (Universitas Stanford) selama satu tahun, mendapatkan
18,6% pasien PICU dengan hipoglikemia
.
[20]
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Hipoglikemia, merupakan suatu keadaan kegawatan pada anak, walaupun banyak studi
menunjukkan jaringan otak dapat melepaskan substrat selain glukosa, khususnya pada
periode baru lahir dan pada saat puasa, namun tidak ada satupun substrat yang berhasil
memperbaiki sekuele neurofisiologik akibat kurangnya glukosa pada sistem syaraf pusat.
Efek neurologik ini menetap dan berhubungan dengan lamanya jaringan otak kekurangan
glukosa, sehingga diagnosis dan pengobatan dini sangat penting
.
[21, 22]
Gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan hipoglikemia neonatal, pertama kali
dilaporkan oleh Hartmann dan Jaudon (1937), namun komplikasi neurologik belum
pernah dilaporkan sampai tahun 1959 baru kemudian dilaporkan dua dari 8 neonatus
dengan hipoglikemia simptomatik berat menjadi spastik dan retardasi mental. Temuan
hipoglikemia neonatal merupakan penyebab potensial kerusakan otak dan kematian telah
dikonfirmasi oleh banyak peneliti
. Dilaporkan dalam penelitian jangka panjang 35%
[22]
hipoglikemia simptomatik dan 20% hipoglikemia asimptomatik pada bayi baru lahir
meninggalkan gejala sisa, Singh, dkk (1991) dalam penelitiannya pada 107 bayi,
menekankan bahwa hipoglikemia simptomatik cenderung meninggalkan gejala sisa
dibanding asimptomatik
. Koivisto, dkk (1972) dalam penelitiannya pada 151 bayi
[23]
yang diperiksa pada usia satu tahun dan 4 tahun, mendapatkan bayi yang hipoglikemia
asimptomatik dan euglikemia tidak ada perbedaan yang bermakna pada keluaran
neurologiknya, namun pada yang hipoglikemia simptomatik apalagi yang disertai kejang,
insidens kelainan neurologisnya 50%
. Pildes RS, dkk (1974) dalam penelitiannya
[24]
mendapatkan hipoglikemia masa neonatus setelah usia 5 – 7 tahun tinggi badan dan berat
badan tidak berbeda dengan kontrol, namun lingkar kepala lebih kecil dibanding kontrol.
Pada pemeriksaan EEG tidak didapatkan perbedaan bermakna dengan kontrol, namun
didapatkan kelainan neurologik yang bermakna dibanding kontrol. Skor IQ pada
hipoglikemia neonatal kurang dari 86 dibanding kontrol
. Penelitian Caraballo RH,
[1, 25, 26]
dkk (2004) selama 13 tahun, mendapatkan 15 pasien hipoglikemi neonatal, 12 pasien
(80%) didapatkan kejang fokal dan kelainan pada EEG yang dapat diatasi dengan baik,
sisanya dengan kejang refrakter, 13 pasien (87%) pada pencitraan neuroradiologik
didapatkan lesi parieto-occipital
. Pada bayi dan anak dengan hipoglikemia
[27]
asimptomatik didapatkan defek neurokognitif, antara lain gangguan pendengaran dan
respon “sensory evoke” dan gagalnya tes kinerja. Konsekuensi jangka panjang antara
lain: ukuran kepala kecil, IQ rendah dan pada pemeriksaan MRI terlihat kelainan spesifik.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

Karena banyaknya etiologi hipoglikemia yang mempunyai konsekuensi sama, maka
untuk menetapkan penyebab sekuele sangat sulit
. Penelitian di Kenya oleh Osier, dkk
[28]
(2003), kematian karena hipoglikemia pada non neonatus 20,2% sebagian besar karena
penyakit berat dan malnutrisi, pada neonatus kematian karena hipoglikemia 45,2%
.
[29]
Wysocki T, dkk (2003) meneliti 142 pasien diabetes tipe I pada anak sekolah berusia
antara 6 – 15 tahun, 41% dengan episode hipoglikemia berat dengan kejang dan koma
setelah 18 bulan terdapat penurunan IQ dibanding kontrol
. Wintergerst, KA (2006)
[30]
dalam penelitiannya di rumah sakit anak ”Packard” (Universitas Stanford) selama satu
tahun, mendapatkan kematian di PICU yang berhubungan dengan hipoglikemia 68%
.
[20]
Penelitian Melis D, dkk (2004) pada pasien glikogen storage disease tipe 1, yang terjadi
hipoglikemia berat berulang, terjadi kerusakan otak yang bermakna, dengan hasil tes IQ
rendah, kelainan gambaran EEG, visual, somatosensory, dan pendengarannya yang
berhubungan dengan seringnya masuk rumah sakit karena hipoglikemia
.
[31]
PATOFISIOLOGI
Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari penelitian
binatang percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa mempunyai substrat dan
pengaturan metabolisme hormonal yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi
gambarannya berbeda.
Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak
akan terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis
.
[14]
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah: glukosa,
asam amino dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang dibutuhkan. Glukosa
ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi karena adanya perbedaan konsentrasi
pada ibu dan plasma janin, kadar glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu.
Glukosa yang masuk ke janin dalam jumlah yang proposional untuk kebutuhan energi
yang dibutuhkan janin dengan kecepatan 5 - 7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan
kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem ensim yang terlibat dalam
glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin namun tidak aktif,
kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan. Pada hewan aktivitas ensim
untuk glukoneogenesis (pyruvate carboxylase, phosphoenol / pyruvate carboxykinase,
glucose-6-phosphatase, dan fructose 1,6 diphosphatase) sangat penting, pada janin
manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai periode
perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk mempertahankan euglikemia, pada saat lahir
tidak ada produksi glukosa oleh janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan
glukoneogenesis telah dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, walaupun pada
bayi yang sangat prematur. Ensim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis
glikogen sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit ”glycogen storage”, dalam 3 – 4 minggu terakhir
kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai kadar saat lahir
.
[10, 32]
Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilikal 60 – 80 % dari kadar glukosa vena
ibu
. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam pertama setelah lahir,
[6]
kadar glukosa darahnya tidak pernah dibawah 40 mg/dL, pada usia 4 – 6 jam berkisar
antara 45 – 80 mg/dL. Kadar glukosa dipertahankan segera setelah lahir dengan
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

pemecahan glikogen hepar (glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glukagon,
difasilitasi oleh turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8 – 12 jam pertama glikogen
berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari laktat,
gliserol dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan masukan
karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi. Hipoglikemia disebabkan
oleh berkurangnya suplai glukosa atau meningkatnya konsumsi glukosa. Karena
euglikemia pada mulanya tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang
kekurangan substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia
.
[5, 6, 33]
Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap dipertahankan dalam
rentang yang sempit, antara 60 – 100 mg /dL. Setelah makan maka kadar glukosa akan
meningkat sementara antara 120 – 140 mg/dL, setelah itu kembali kekadar semula
biasanya sekitar dua jam setelah absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon
merupakan dua hormon yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula
darah meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan merangsang hepar
untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya hepar dan otot)
kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai lemak. Bila kadar glukosa
turun, fungsi sekresi glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa dengan merangsang
hepar untuk melakukan glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah.
Pada keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui glukoneogenesis.
Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol yang
merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan glikogen dan memecah
protein otot menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk glukoneogenesis dalam
hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta
hidroksi butirat yang dapat digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian
besar jaringan, termasuk otak. Hipotalamus merangsang sistem syaraf simpatis dan
epinefrin yang disekresi oleh adrenal, menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila
hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormon pertumbuhan
dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel tubuh
. Insulin merupakan hormon pengatur utama, bila tidak bekerja atau kurang maka
[28]
terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi insulin mempertahankan euglikemia post
absorbsi. Pada orang normal bila di buat hipoglikemia dengan diberikan insulin, maka
pertama kali hepar yang berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi
hipoglikemia dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel
hepatosit dan merubah laktat, gliserol dan asam amino menjadi glukosa
(glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi maka tubuh
meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Glukagon
yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal, maka yang kedua adalah epinefrin,
bila glukagon dapat mengatasi keadaan hipoglikemia, maka epinefrin tidak diperlukan,
namun bila tidak ada glukagon maka epinefrin memegang peran penting
. Hormon
[34]
pertumbuhan dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat
. Otak
[3, 35]
merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton sebagai
sumber energi utama. Namun pada kenyataannya glukosa merupakan sumber energi
tunggal, pada organ ini masuknya glukosa kedalam sel diperantarai oleh “glut3
transporter” yang mempertahankan suplai glukosa yang tetap pada sel otak sampai kadar
glukosa sangat rendah (2,2 mM)
. Sehingga untuk mempertahankan kadar gula darah
[34]
normal tergantung pada: 1. Sistem endokrin yang normal untuk integrasi dan modulasi
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

mobilisasi substrat, interkonversi dan utilisasi; 2. Ensim untuk glikogenolisis, sintesis
glikogen, glikolisis, glukoneogenesis dan utilisasi bahan bakar metabolik lain dan
penyimpanan yang berfungsi baik; 3. Suplai lemak endogen, glikogen dan substrat
glukoneogenik potensial (asam amino, gliserol dan laktat) yang adekuat. Orang dewasa
normal mampu mempertahankan kadar gula darah normal atau mendekati normal, kira-
kira sampai seminggu, bahkan bila obes dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus
dan anak sehat, tidak dapat mempertahankan kadar glukosa normal bila dipuasakan
dalam jangka pendek (24 sampai 36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa
plasma yang progresif sampai ke kadar hipoglikemia. Kelainan sekresi hormon,
interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar metabolik, menyebabkan kelainan
produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia pada anak. Untuk evaluasi
dan pengobatan hipoglikemia pada anak diperlukan pemahaman faktor-faktor yang yang
mengatur metabolisme glukosa pada dewasa dan aspek yang unik metabolisme glukosa
pada bayi dan anak
.
[35]
Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan hipoglikemia dengan menurunkan
sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan dan
kortisol. Perubahan hormonal tersebut dikombinasi dengan meningkatnya keluaran
glukosa hepar, bahan bakar alternatif yang ada dan penggunaan glukosa menurun.
Respon pertama kali yang terjadi adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan
pelepasan cadangan glikogen hepar disertai penurunan insulin dan peningkatan glukagon.
Bila cadangan glikogen habis maka terjadi peningkatan kerusakan protein karena kortisol
meningkat, glukoneogenesis hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber
produksi utama glukosa. Kerusakan protein tersebut digambarkan dengan meningkatnya
kadar asam amino glukonegenik, alanin dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar
glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian diikuti
peningkatan kadar epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Ketiga kejadian diatas,
meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam plasma, yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar alternatif tubuh dan menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan
keton urin dan plasma menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam
lemak bebas plasma juga merangsang produksi glukosa. Hipoglikemia terjadi bila satu
atau lebih mekanisme keseimbangan diatas gagal, atau penggunaan glukosa yang
berlebihan seperti pada hiperinsulinisme; atau produksi yang kurang seperti pada
penyakit “glycogen storage”; atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan atau
kortisol
.
[28, 35]
ETIOLOGI
Secara garis besar, untuk mempermudah pembicaraan, maka etiologi hipoglikemia dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu: kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa
berlebihan dan produksi glukosa kurang.
Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
a. Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes, hipoglikemia hiperinsulinisme
menetap pada bayi, tumor yang memproduksi insulin dan ”child abuse”).
Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang berlebihan terutama
akibat rangsang ambilan glukosa oleh otot. Pada bayi, hiperinsulinemia dapat
terjadi karena defek genetik yang menyebabkan aktivasi reseptor sulfonilurea
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

akibat sekresi insulin yang menetap. Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia
hiperinsulin endogen menetap pada bayi yang sebelumnya disebut sebagai
nesidioblastosis. Bayi dari ibu penderita diabetes, juga mempunyai kadar insulin
yang tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in utero akibat
jeleknya kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang menyebabkan
hiperinsulinemia pada bayi. Pada anak, hiperinsulinemia jarang, penyebabnya
tumor yang memproduksi insulin. Penggunaan insulin eksogen atau pemberian
obat yang menyebabkan hipoglikemia kadang dapat terjadi karena kecelakaan
atau salah penggunaan, sehingga hal ini pada anak harus dipertimbangkan
.
[28]
b. Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs, defek ”respiratory chain”).
Kelainan ini sangat jarang, mengganggu pembentukan ATP dari oksidasi glukosa,
disini kadar laktat sangat tinggi
.
[28]
c. Defek pada produksi energi alternatif (defisiensi Carnitine acyl transferase,
defisiensi HMG CoA, defisiensi rantai panjang dan sedang acyl-coenzym A
dehydrogenase, defisiensi rantai pendek acyl-coenzyme A dehydrogenase).
Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga tubuh
sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan masalah bila puasa
dalam jangka lama yang seringkali berhubungan dengan penyakit gastrointestinal
.
[28]
d. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk hipertiroidisme
.
[28]
Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa
a. Simpanan glukosa tidak adekuat (prematur, bayi SGA, malnutrisi, hipoglikemia
ketotik). Kelainan ini sering sebagai penyebab hipoglikemia, disamping
hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal ini dapat dibedakan
dengan melihat keadaan klinis dan adanya hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi
pada anak yang kurus, usia antara 18 bulan sampai 6 tahun, biasanya terjadi
akibat masukan makanan yang terganggu karena bermacam sebab
.
[28, 36]
Penelitian terakhir mekanisme yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah
gagalnya glukoneogenesis
.
[36]
b. Kelainan pada produksi glukosa hepar, antara lain: defisiensi Glukose-6-
phosphatase (glycogen storage disease tipe 1), defisiensi debrancher (glycogen
storage disease tipe 3), defisiensi phosphatase hepar (glycogen storage disease
tipe 6, defisiensi glycogen synthase, defisiensi fructose 1,6 diphosphatase,
defisiensi phospho-enol pyruvate, defisiensi pyruvate carboxylase, gaslactosemia,
intoleransi friktose herediter, penyakit maple urine syrup). Kelainan ini
menurunkan produksi glukosa melalui berbagai defek, termasuk blokade pada
pelepasan dan sintesis glukosa, atau blokade atau menghambat gluikoneogenesis.
Anak yang menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia,
karena penyakitnya bersifat kronik
.
[28]
c. Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon pertumbuhan,
defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini karena hormon
pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada pembentukan energi alternatif
dan merangsang produksi glukosa. Kelainan ini mudah diobati namun yang
sangat penting adalah diagnosis dini
.
[28]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

d. Toksin dan penyakit lain. (etanol, salisilat, propanolol, malaria). Etanol
menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat menyebabkan
hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan diabetes yang diobati insulin
yang tidak dapat mengurangi sekresi insulin sebagai respon bila terjadi
hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat menyebabkan hipo ataupun
hiperglikemia. Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan
pada glukoneogenesis
.
[28]
KLASIFIKASI
Klasifikasi hipoglikemia, sangat bermacam-macam, karena penulis membuat klasifikasi
dari berbagai pandangan (pendekatan klinis, menetap / transien, dan banyak lagi)
[9, 20, 37,
. Namun untuk mempermudah, kalsifikasi bedasar timbulnya hipoglikemia (lihat tabel
38]
1)
Pada neonatus hipoglikemia transien, perlu perhatian khusus karena mungkin
[9].
asimptomatik.
Tabel 1.
Klasifikasi hipoglikemia pada bayi dan anak
Neonatus Transien Neonatus / bayi atau anak menetap
1. Berhubungan dengan tidak adekuatnya
1. Hiperinsulinemia
fungsi substrat atau ensim
a. Nesidioblastosis
b. Hiperplasia sel beta
a. Prematuritas
c. Adenoma sel beta
b. SGA
d. Sindroma Beckwith-Wiedemann
c. Bayi kembar kecil
e. Sensitif terhadap leucine
d. Bayi dengan distres respirasi berat
2. Defisiensi hormon
e. Bayi dari ibu toksemia gravidarum
2. Berhubungan dengan hiperinsulinemia
a. Panhipopituitarisme
b. Defisiensi hormon pertumbuhan
a. Bayi dari ibu Diabetes
c. Defisiensi ACTH
b. Eritroblastosis foetalis
d. Penyakit Addison
e. Defisiensi glukagon
f. Defisiensi epinefrin
3. Kekurangan substrat
a. Hipoglikemia ketotik
b. Penyakit ”Maple syrup urine”
4. Penyakit ”Glycogen storage”
a. DefisiensiGlucose-6-phosphatase (tipe
I)
b. DefisiensiAmylo-1,6-glucosidase (tipe
III)
c. Defisiensi Liver phosphorilase (tipe
IV)
d. Defisiensi glicogen synthetase
5. Gangguan gluconeogenesis
a. Intoksikasi alkohol akut
b. Hypoglycin, defisiensi carnitine dan
stactyloside
c. Into ksikasi salisilat
d. Defisiensi Fructose-1,6-diphosphatase
e. Defisiensi Pyruvate carboxylase
f. Defisiensi phosphoenolpyruvate-
carboxykinase (PEPCR)
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

6. Defek ensim yang lain
a. Galactosemia
b.
Intoleransi fruktose
(dikutip dari: Sperling MA (1986) dengan modifikasi)
GEJALA
Hipoglikemia, walaupun jarang terjadi pada anak, tetapi banyak pada bayi. Namun masih
tetap merupakan problem untuk dokter anak, karena: Pertama, gejalanya samar-samar
dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang
tinggi. Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks
Penelitian Wintergerst KA, dkk (2006) pada 56 anak normal, ternyata dapat
[39, 40].
mentoleransi puasa sampai 24 jam tanpa gejala hipoglikemia, walaupun kadar gula darah
kurang dari 40 mg/dL (1,67 mmol/L), (lihat gambar 1)
. Pada bayi yang berusia
[39, 41].
lebih dari dua bulan, anak dan dewasa, penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2
mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang
berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.
Gejala adrenergik cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada
hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan
gejala neuroglikopenia
. Gejala hipoglikemia, dapat diklasifikasikan dalam dua
[39]
kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem syaraf autonom dan berhubungan dengan
kurangnya suplai glukosa pada otak (neuroglikopenia)
. Gejala akibat dari sistem
[3, 6]
syaraf autonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia
adalah pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat konsentrasi.
Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan lemah
. Pada neonatus
[3, 39]
tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis, hipotonia, iritabel,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan pucat. Namun hal ini
juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misal kelainan bawaan pada
susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernikterus. Demikian
juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit
jantung, distres respirasi, asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin.
Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada ”glycogen storage disease” tipe I
.
[21, 42]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007


Gambar 1. Rerata nilai gula darah dengan standard deviasi dan nilai ekstrem selama 24
jam puasa pada 56 anak normal usia antara 2 tahun – 17 tahun, gula darah antara 33 – 77
mg/dL, berkorelasi erat dengan usia
.
[41]
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat penting
untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah pertama yang
diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain
adalah: Beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif)
dan elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol,
hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino
(kuantitatif)
.
[21, 43]
Apabila pada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimptomatik,
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka pasien
dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat
diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan
diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu
untuk pemberian dekstrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah
secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin
pada jam 8, 16 dan 20, kemudian diberikan glukagon 30 – 100 pg/kgBB intra muskuler
sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan terakhir
harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila dicurigai defek pada ensim
tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik plasma dan atau urin
.
[21]
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes toleransi
leucine untuk menentukan diet dikemudian hari dilakukan setelah pasien normoglikemi,
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk menemukan adenoma pankreas,
pemeriksaan fungsi adrenal
.
[43]
PENCITRAAN
Bila hipoglikemi hiperinsulinisme menetap, maka dilakukan pemeriksaan USG abdomen,
CT Scan dan MRI hanya sedikit membantu untuk membedakan bentuk fokal atau difus.
Bila dicurigai hipopituitarisme, dilakukan MRI kepala, untuk melihat tumor pada
hipofisis atau hipotalamus, atau mungkin ada kelainan bawaan
. Bilamana
[28, 44]
pemeriksaan non invasif tidak berhasil maka dilakukan pemeriksaan invasif dengan
endoscopic ultrasound, namun hasilnya tergantung operatornya. Bila masih belum
berhasil untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan transhepatic venous sampling
.
[44]
DIAGNOSIS
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias
Whipple’s yaitu: 1. manifestasi klinis yang khas, 2. kejadian ini harus bersamaan dengan
rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metoda yang peka dan
tepat, dan 3. gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia. Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat
ditetapkan
. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
[5]
penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi
. Untuk menetapkan diagnosis
[45]
hipoglikemia asimptomatik lebih sulit, walaupun juga sebagai penyebab kerusakan otak
. Dengan teknik pemeriksaan mikro untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam
[5]
plasma, maka menjadi mungkin untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol
hipoglikemia dan mencari mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah.
Jadi yang diukur adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia, antara
lain epinefrin, hormon pertumbuhan, kortisol dan glukagon, bersama dengan substrat,
antara lain: asam lemak bebas, gliserol dan badan keton
.
[5, 45]
Pendekatan yang dilakukan bilamana dicurigai hipoglikemia, adalah anamnesis
yang teliti dilanjutkan pemeriksaan fisik dengan ini dapat memberikan petunjuk penting
kearah diagnosis. Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat
mengarahkan pada ”inborn error of metabolism”, seperti galaktosemia, penyakit ”maple
syrup urine” dan intoleransi fruktose. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong
kearah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme. Hepatomegali
seringkali terjadi pada ”glycogen storage disease” atau defek pada glukoneogenesis.
Miopati merupakan gambaran dari defek oksidasi asam lemak dan ”glycogen storage
disease”
.
[14]
Secara ringkas dapat digunakan alur diagnosis pada gambar 2.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007


Gambar 2.
Skema alur diagnosis hipoglikemia dkutip dari
[45]
PENGOBATAN
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin mengembalikan kadar
gula darah kembali normal, menghidari hipoglikemia berulang sampai homeostasis
glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia.
Sehingga harus diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia
.
[3]
Medikamentosa
Bila pasien tidak ada kelainan neurologik yang mengganggu proses menelan,
hipoglikemia simptomatik diberikan karbohidrat oral dengan hasil yang memuaskan dan
tidak ada perbedaan bermakna dengan yang diberikan dektrosa intravena
. Bila tidak
[46]
dicurigai intoleransi fruktose herediter dapat diberikan sari jeruk ditambah sukrose (dua
sendok teh setiap gelas) biasanya efektif. Bila perlu dapat diberikan dekstrosa 15 – 20 %
intravena secara cepat, dengan dosis 0,25 – 0,50 gram/kgBB. Karena dapat terjadi
”rebound” hipoglikemia maka harus dilakukan pemberian rumatan dektrosa 4 – 6
mg/kgBB/menit sampai pasien stabil euglikemia.
Pada neonatus, bila hipoglikemia terjadi pada bayi aterm asimptomatik, berikan
larutan glukosa atau susu formula, bila memungkinkan minum ASI, bila tidak dapat
minum jangan berikan dengan pipa nasogastrik, berikan akses intravena
. Terapi
[47]
pertama yang dianjurkan adalah pemberian infus glukosa intravena 1 gram/kgBB
(glukosa 50%, 2 ml/kgBB), diikuti dengan 10 mg/kgBB/menit (glukosa 30%, 50
ml/kgBB/24 jam). Harus diingat, bahwa ini adalah dosis perkiraan, sehingga gula darah
harus dipantau terus menerus paling sedikit selama 24 jam setelah gula darah stabil,
walaupun umumnya hipoglikemia pada bayi baru lahir sebagian besar transien.
Kemudian infus glukosa diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan meningkatnya
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

kemampuan minum peroral. Bila glukosa dihentikan secara mendadak mungkin dapat
terjadi hipoglikemia berulang. Infus jangka lama dengan glukosa yang kental tersebut
dapat menyebabkan komplikasi trombosis dan masukan cairan yang berlebihan, sehingga
pemberian cairan juga harus diperhatikan. Bila dengan terapi diatas tidak berhasil,
banyak penulis menganjurkan diberikan hidrokortison 5 mg/kgBB/24 jam dalam dosis
terbagi, dapat pula diberikan glukagon secara intramukuler 50 ug/kgBB setiap 4 jam
karena dapat meningkatkan ensim phosphoenolpyruvate carboxykinase
.
[16, 17, 21]
Bila terjadi hipoglikemia akut, diberikan bolus intravena dekstrose 10%, 2,5 ml /
kgBB., diikuti dengan pemberian infus intravena sesuai dengan produksi glukosa hepar.
Pada bayi, kira-kira 5 – 8 mg/kgBB/menit, pada anak 3 – 5 mg/kgBB/menit. Dengan cara
ini dapat mempertahankan kadar glukosa plasma diatas 2,5 mmol/L. Anak dengan
hiperinsulinemia, kebutuhannya lebih tinggi. Pengobatan jangka panjang pada anak
dengan hipoglikemia bervariasi tergantung etiologinya
.
[21]
Hipoglikemia ketotik, kelainan “glycogen storage”, defek pada metabolisme asam
lemak bebas, dan hiperinsulinisme ringan, hipoglikemia dapat dicegah dengan pemberian
makan yang frekuen dengan diet yang di rancang khusus dan dapat diberikan dektrose
parenteral yang dapat memberikan respon cepat bila makan kurang adekuat atau problem
gastrointestinal atau penyakit yang lain. Untuk defisiensi fructose diphosphatase,
hindarkan diet yang mengandung fruktose
.
[45]
Untuk hiperinsulinisme, maka digunakan pendekatan bertahap. Tahap pertama,
biasanya dengan pemberian makan yang frekuen. Tahap selanjutnya biasanya diberikan
diazoxide (15 – 20 mg/kgBB/hari). Octreotide (25 - 100 ug/kgBB/hari) biasanya
merupakan obat pilihan kedua. Nifedipine merupakan “calcium channel blocker”juga
dapat digunakan. Pembedahan direkomendasikan bila pengobatan gagal atau dicurigai
adanya tumor yang memproduksi insulin. Hormon pertumbuhan dan atau kortisol
merupakan pengobatan spesifik untuk anak dengan hipoglikemia dengan hipopituitarisme
atau insufisiensi adrenal. Bayi yang lahir prematur dan SGA harus diberikan intravena
atau peroral segera setelah lahir untuk mencegah hipoglikemia.
Untuk pasien hipoglikemia dan diabetes, pengobatan tergantung dari kesadaran
penderita, bila pasien dalam keadaan sadar, berikan 15 gram karbohidrat (3 sendok teh
gula atau tablet glukosa) melalui mulut. Yang penting adalah harus ditunggu selama 15
menit sesudah pemberian pengobatan awal sebelum dilakukan pemeriksaan gula darah
ulangan, karena kemungkinan terjadi pengobatan yang berlebihan yang seringkali malah
menyebabkan hiperglikemia. Bila lebih dari satu jam sebelum jadual makan berikutnya
diberikan tambahan 15 gram karbohidrat dengan tambahan protein (roti, biskuit, dll)
mungkin dapat membantu. Bila kesadaran pasien menurun, maka harus hati-hati terjadi
aspirasi, pengobatan tergantung pada keadaan pasien.
Bila dirumah, glukagon intramuskuler merupakan pengobatan pilihan, keluarga
atau orang terdekat dengan pasien diabetes yang diberikan insulin harus dapat melakukan
hal ini. Bila dirumah sakit, maka diberikan larutan dekstrose 25%. Dekstrose tidak
menyebabkan mual dan mutah seperti pada pemberian glukagon. Glukagon harus
diberikan bilamana akses intravena mengalami kesulitan. Setelah pengobatan
hipoglikemia, maka perlu diperhatikan diet dan pola aktivitas untuk menentukan
penyebabnya agar tidak terjadi hipoglikemia berulang.
Pengobatan hormonal, diberikan untuk terapi pengganti bilamana defisiensi
hormonal, kortisol, hormon pertumbuhan, atau untuk menekan produksi hormon yang
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

berlebihan, yaitu Somatostatin (Octreotide) merupakan obat pilihan kedua, merupakan
peptida dengan kerja farmakologik sama dengan somatostatin, dengan menghambat
sekresi insulin. Diazoxide merupakan obat anti hipertensi yang dapat menekan sekresi
insulin. Nifedipine, merupakan “calcium channel blocker” yang menurunkan sekresi
insulin
.
[28, 45, 48]
Pembedahan
Pembedahan untuk hiperinsulinisme biasanya dilakukan bilamana terapi medikamentosa
gagal atau bilamana pasien anak dengan kemungkinan tumor yang memproduksi insulin.
Biasanya operasi bayi dengan hipoglikemia hiperinsulinisme menetap pankreas diambil
89 - 95%. Bilamana dengan ini tidak berhasil, maka ditambahkan obat-obatan atau
dilakukan pengangkatan pankreas total. Pada anak dengan tumor yang memproduksi
insulin, hanya tumor saja yang diangkat
.
[28, 43, 44]
Dietetik
Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia, tergantung pada penyebabnya, pada pasien
dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat menyebabkan
hipoglikemia. Pada pasien hipoglikemia ketotik, penyakit ”glycogen storage”, dan
penyakit lain yang harus menghindari puasa, harus dihindarkan puasa dalam jangka
waktu lama dan disediakan makanan yang berbasis karbohidrat
.
[28]
KONSULTASI
Evaluasi dan pengobatan anak dengan hipoglikemia, membutuhkan pendekatan tim.
Biasanya pada evaluasi pertama adalah ahli endokrin anak dan pengobatan tergantung
dari hasil evaluasi. Sebaiknya bilamana didapatkan kelainan metabolik familial dibantu
oleh ahli genetik. Ahli gizi, diperlukan untuk memberikan masukan untuk menjamin
masukan kalori pada anak dengan cadangan gula yang tidak adekuat
.
[28]
PROGNOSIS
Tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit ”inborn errors of metabolism”
dan defisiensi hormonal, membutuhkan pengobatan selama hidup, sebaliknya
hipoglikemia ketotik umumnya menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan
nutrisi yang adekuat untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia, tergantung
pada beratnya penyakit, respon terhadapa pengobatan, dan lesinya fokal atau difus. Pada
lesi fokal umumnya dapat diobati dengan pembedahan. Hiperinsulinisme ringan yang
memberikan respon dengan diazoxide, membutuhkan pengobatan jangka panjang, tetapi
anak dapat hidup normal. Pada lesi difus yang tidak memberikan respon dengan
pengobatan, tidak sepenuhnya dapat diobati dengan pankreatektomi dan akan timbul
problem hipoglikemia dan gangguan perkembangan yang berkelanjutan
.
[28]
RINGKASAN
Walaupun merupakan obyek yang sangat menarik, hipoglikemia pada bayi dan anak
masih merupakan tantangan untuk kita. Keadaan hipoglikemia harus cepat didiagnosis
dan diobati dan tentunya harus dicari penyebabnya. Kelambatan pengobatan dapat
menyebabkan kerusakan otak, bahkan sampai kematian, khususnya pada bayi prematur
dan bayi baru lahir.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

KEPUSTAKAAN
[1] Kappy MS. Carbohydrate metabolism and hypoglycemia. In: Michael S Kappy RMB, Claude J Migeon, ed.
The diagnosis
and treatment of endocrine disorders in childhood and adolescence
. 4 ed. Springfield, Illionis, USA: Charles C Thomas Pub 1994:919
- 59.
[2] Cornblath M. Clinical Conference: Infant of Diabetic Mothers. Pediatrics. 1961;28:1024 - 6.
[3] Service FJ. Hypoglycemic disorders. The New England Journal of Medicine. 1995;332:1144 - 52.
[4] Marvin Cornblath RS, Albert Aynsley-Green, June K Lloyd. Hypoglycemia in Infancy: The Need for a Rational
Definition. Pediatrics. 1990;85:834 - 7.
[5] Marvin Cornblath JMH, Anthony F Williams, Albert AynsleyGreen, Martin P WardPlatt, Robert Schwartz, Satish C
Kalhan. Controversies Regarding Definition of Neonatal Hypoglycemia: Suggested Operational Thresholds. Pediatrics.
2000;105:1141 - 5.
[6] Ilene Claudius CF, Richard Boles. The Emergency Department Approach to Newborn and Childhood Metabolic Crisis.
Emerg Med Clin N Am. 2005;23:843 – 83.
[7] Sexson W. Incidence of neonatal hypoglycemia: A matter of definition. Journal of pediatrics. 1984;105:149 - 50.
[8] Hawdon JM WPM, McPhail S, Cameron H, Walkinshaw SA. Prediction of impaired metabolic adaptation by antenatal
Doppler studies in small for gestational age fetuses. Arch Dis Child. 1992;67:789 - 92.
[9] Sperling MA. Hyoglycemia in infant and children. In: Lavin N, ed.
Manual of Endocrinology and Metabolism
. 1st ed.
Boston, Toronto: Little, Brown and Company 1986:443 - 53.
[10] WHO. Hypoglycemia of the newborn: A review of literature. 1997:1-55.
[11] G Srinivasan RP, G Cattamanchi, et al. Plasma glucose values in normal neonates: A new look. J Pediatr. 1986;109:114.
[12] Eva Hoseth AJ, Finn Ebbesen, Margrethe Moeller. Blood glucose levels in a population of healthy, breast fed, term infants
of appropriate size for gestational age. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2000;83:117 - 9.
[13] Nicholl R. What is the normal range of blood glucose concentrations in healthy term newborns? Arch Dis Child.
2003;88:238 - 9.
[14] Aida N Lteif WS. Hypoglycemia in infants and children. Endocrinol Metab Clin North Am 1999;28:619 - 46.
[15] Stanley CA. Hypoglycemia. In: Sally Radovick MHM, ed.
Pediatric Endocrinology: Practical Clinical Guide
. Totowa,
New Jersey: Humana Press 2003:511 - 21.
[16] McGowan JE. Neonatal Hypoglycemia. NeoReviews. 1999:6 - 15.
[17] Ronald L Gutberlet MC. Neonatal Hypoglycemia Revisited, 1975. Pediatrics. 1976;58:10-7.
[18] Richard Guthrie GVl, Linda Glenn. The Frequency of Asymptomatic Hypoglycemia in High Risk Newborn Infants.
Pediatrics. 1970;46:933 - 6.
[19] F H A Osier JAB, A Ross, F Sanderson, S Mohammed, C R J C Newton. Abnormal blood glucose concentrations on
admission to a rural Kenyan district hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621 – 5.
[20] Kupper A. Wintergerst BB, Laura Gandrud, Becky J. Wong, Saraswati Kache, Darrell M. Wilson. Association of
Hypoglycemia, Hyperglycemia, and Glucose Variability With Morbidity and Death in the Pediatric Intensive Care Unit.
PEDIATRICS. 2006;118:173 -9.
[21] Robert E Greenberg RC. The critically ill child: Hypoglycemia. PEDIATRICS. 1970;46:915 - 20.
[22] Nicole Boluyt AvK, Martin Offringa. Neurodevelopment After Neonatal Hypoglycemia: A Systematic Review and Design
of an Optimal Future Study. PEDIATRICS. 2006;117:2231 - 43.
[23] Singh M SP, Paul VK, Deorari AK, Sundaram KR, Ghorpade MD, Agadi A. Neurodevelopmental outcome of
asymptomatic and symptomatic babies with neonatal hypoglycaemia. Indian journal of medical research. 1991;94:6 - 10.
[24] Koivisto M B-SM, Krause U. Neonatal symptomatic and asymptomatic hypoglycemia: A follow-up study of 151 children.
Dev Med Child Neurol. 1972;14:603 – 14.
[25] Rosita S. Pildes MC, Irvina Warren, Edward Page-El, Salvatore di Menza, Doris M. Merritt, Antonia Peeva. A Prospective
Controlled Study of Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics. 1974;54:5 - 14.
[26] Hermansen MC. Perinatal Causes of Cerebral Palsy. Clin Perinatol. 2006;33:15 - 6.
[27] Roberto H. Caraballo DS, Marcela Mozzi, Alberto Guerrero, Javier N. Adi, Ricardo O. Cerso´simo, Natalio Fejerman.
Symptomatic Occipital Lobe Epilepsy Following Neonatal Hypoglycemia. Pediatr Neurol. 2004;31:24 - 9.
[28] Hoffman RP. Hypoglycemia. EMedicine 2007 [cited; Available from:
http://www.emedicine.com/ped/topic1117.htm
[29] F H A Osier JAB, A Ross, F Sanderson, S Mohammed, C R J C Newton. Abnormal blood glucose concentrations on
admission to a rural Kenyan district hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621 - 5.
[30] Tim Wysocki MAH, Nelly Mauras, Larry Fox, Alexandra Taylor, S. Craig Jackson, Neil H. White. Absence of Adverse
Effects of Severe Hypoglycemia on Cognitive Function in School-Aged Children With Diabetes Over 18 Months. Diabetes Care.
2003;26:1100 – 5.
[31] Daniela Melis GP, Roberto Della Casa, Michelina Sibilio, Alfonso Romano, Francesco Di Salle, Raffaele Elefante,
Giuseppina Mansi, Lucio Santoro, Anna Perretti, Roberto Paludetto, Luigi Sequino, Generoso Andria. Brain Damage in Glycogen
Storage Disease Type I. J Pediatr. 2004;144:637 - 42.
[32] Agneta Sunehag MWH. Approach to hypoglycemia in infants and children. 2007 [cited; Available from:
http://patients.uptodate.com/print.asp?print=true&file=pediendo/12220
[33] Chan SW. Neonatal hypoglycemia. 2007 [cited; Available from:
http://patients.uptodate.com/topic.asp?file=neonatol/5898
[34] Be´atrce Desvergne LM, Walter Wahli. Transcriptional Regulation of Metabolism. Physiol Rev. 2006;86:465 - 514.
[35] Luc Tappy EJ, Philippe Schneiter. Autoregulation of Glucose Production. News Physiol Sci. 2000;15:198 - 202.
[36] Lorentz WB. Ketotic Hypoglycemia and Hypopituitarism. Pediatrics. 1979;63:414 - 5.
[37] Charles A Stanley LB. The Causes of Neonatal Hypoglycemia. The New England Journal of Medicine. 1999;340:1200-1.
[38] Service FJ. Classification of hypoglycemic disorders. Endocrinol Metab Clin North Am. 1999;28:501 - 17.
[39] Philip A Gruppuso RS. Hypoglycemia in Children. pediatrics in review. 1989;11:117 - 24.
[40] Aideen M. Moore MP. Symptomatic Hypoglycemia in Otherwise Healthy, Breastfed Term Newborns. Pediatrics.
1999;103:837 - 9.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

[41] Chaussain JL. Glycemic response to 24-hour fast in normal children: III. Influence of age. J Pediatr 1977;91:711 - 4.
[42] Schwartz R. Hypoglycemia in neonatal period. Pediatrics. 1961;28:523-4.
[43] James P. Hamilton LB, Robert Kaye, C. Everett Koop. Subtotal pancreatectomy in the management of severe persistent
idiopatic hypoglycemia in children. Pediatrics. 1967;39:49 - 58.
[44] Emily Finlayson OHC. Surgical treatment of insulinomas. Surg Clin N Am. 2004;84:775 – 85.
[45] Shah I. Approach to Hypoglycemia. 2001 18-09-2001 [cited; Available from:
http://www.pediatriconcall.com/fordoctor/DiseasesandCondition/approach_to_hypoglycemia.asp
[46] Hubert Barennes IV, Nicolas Nagot, Philippe Van de Perre, Eric Pussard. Sublingual Sugar Administration as an
Alternative to Intravenous Dextrose Administration to Correct Hypoglycemia Among Children in the Tropics. Pediatrics.
2005;116:648 - 53.
[47] Nancy Wight KAM, and The Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee. Guidelines for Glucose
Monitoring and Treatment of Hypoglycemia in Breastfed Neonates. Breastfeeding Medicine. 2006;1:178 - 84.
[48] Charlotte Kane KJL, Paul R.V. Johnson, R.F.L. James, Peter J. Milla, Albert Aynsley-Green, Mark J. Dunne. Therapy for
Persistent Hyperinsulinemic Hypoglycemia of Infancy: Understanding the Responsiveness of b Cells to Diazoxide and Somatostatin. J
Clin Invest. 1997;100:1888 – 93.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007