Jumat, 04 Februari 2011

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI DAN ANAK

PENDAHULUAN
Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan metabolik yang sering terjadi pada
pada bayi dan anak, namun dalam kepustakaan tentang hipoglikemia pada bayi dan anak
terutama mengenai diagnosis dalam keadaan kegawatan dan pengobatannya tetap masih
kontroversi. Apalagi bila pasien datang dalam keadaan meragukan, dokter anak kadang
sulit menentukan kapan mulai dilakukan pemeriksaan untuk tes diagnostik.
Penyebab hipoglikemia seringkali sangat kompleks, bermacam-macam dan unik,
sehingga evaluasi dan pengelolaannya membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang
mekanisme fisiologik yang mempertahankan keadaan euglikemia.
Disini dibicarakan mengenai masalah hipoglikemia pada bayi dan anak, beberapa
penyebabnya dan efek yang merugikan pada susunan syaraf pusat, sehingga dapat
memberikan sumbangan pada pendekatan klinis untuk pengelolaan dan pengobatan
hipoglikemia pada bayi dan anak.
SINONIM: Glukopenia
SEJARAH
Pada tahun 1914 Hilliger di Eropa telah melaporkan hubungan antara kadar gula
darah rendah dan morbiditas / mortalitas pada anak wanita 5 tahun dengan muntah
berulang dan ketonemia, gejalanya berulang bila puasa khususnya bila masukan
karbohidrat dibatasi.
Tahun 1920 Dubreuil dan Anderodias di Prancis, pertama kali secara formal
melaporkan adanya perubahan pankreas bayi yang lahir dari ibu diabetes. Dilaporkan
bayi wanita berat badan 5 kg, meninggal tidak lama setelah lahir, pada pemeriksaan post
mortem ditemukan hepar sangat membesar dan volume sel pankreas mencapai 8 kali
normal. Mereka berpostulasi bahwa hiperglikemia maternal menyebabkan hiperplasia sel
islet bayi, hal ini dihubungkan dengan kematian bayi tersebut.
Di Amerika pada tahun 1924, Ross dan Josephs di RS Johns Hopkins, melaporkan
seorang anak muntah berulang dengan hipoglikemia dan (keto)asidosis metabolik saat
infeksi akut, didiagnosis sebagai hipoglikemia ketotik.
Josephs pada tahun 1926, melaporkan 5 anak dengan episode muntah berulang
yang berhubungan dengan hipoglikemia, kemudian dibuat hipotesis bahwa hal tersebut
karena cadangan glukosa kurang setelah terkena penyakit akut dan kelaparan relatif. Pada
tahun yang sama, Gray dan Feemster dari Universitas Washington melaporkan bayi
wanita dari ibu berumur 44 tahun penderita diabetes tergantung insulin, kontrol sangat
buruk dalam 15 tahun terakhir, menderita nefritis dan toksemia gravidarum berat,
meninggal 5 hari setelah melahirkan bayi berbobot 3,300 kg pada kehamilan 36 minggu.
Pemeriksaan fisik bayi saat lahir normal, pada hari ke 3 bayi mulai muntah dan berat
badan menurun drastis, hari ke 4, bayi pucat yang aneh dan meninggal. Pada pemeriksaan
postmortem, ditemukan “hipertrofi dan hiperplasia pulau Langerhans pankreas”, juga
ditemukan “hipertrofi sel medula adrenal”. Diperkirakan volume jaringan pankreas 24
kali normal. Sebagai tambahan bayi tersebut mempunyai ureter dan pelvis ganda
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

bilateral, temuan ini banyak pada bayi dari ibu diabetes. Mereka berpostulasi, bahwa
hiperglikemia maternal mungkin sebagai etiologi hipertrofi dan hiperplasia sel islet bayi.
Dengan menggunakan metoda pada jaman itu, mereka melaporkan batas bawah glukosa
darah normal bayi baru lahir adalah 90 mg/dL, dan dilaporkan bayi tersebut glukosa
darahnya 67 mg/dL sehari sebelum meninggal.
Pada tahun 1937, Hartmann dan Jaudon berpostulasi bahwa “manifestasi klinis
hipoglikemia adalah akibat kekurangan dekstrosa pada sistem saraf pusat”
.
[1]
Pada pertengahan tahun 1950an, penelitian perintis oleh Cornblath, Lubchenko,
McQuarrie dkk memperluas pemahaman kita tentang hubungan antara hipoglikemia pada
bayi baru lahir dan mortalitas yang menyertainya. McQuarrie (1954) melaporkan
sindroma “bayi hipoglikemia idiopatik”. Ia menguraikan konsep umpan balik hormon,
yaitu kortisol, hormon pertumbuhan, glukagon, epinefrin dan mungkin tiroksin dan
steroid gonad bekerja melawan insulin, dan sekresi insulin yang berlebihan atau
defisiensi hormon yang melawan insulin dapat berakibat hipoglikemia. Insufisiensi
adrenal, hipopituitarisme, penyakit “Glycogen storage”, hipotiroidisme, tumor sel ß
pankreas, galaktosemia dan bayi lahir dari ibu diabetes merupakan etiologi 15 dari 40
anak di RS Universitas Minnesota tahun 1942-1954. Duapuluh lima kasus dilaporkan
sebagai hipoglikemia spontan dan persisten, dengan penyebab yang tidak diketahui
.
[2]
Pemahaman kita tentang etiologi hipoglikemia sekarang telah maju karena tehnik
mengukur hormon dan metabolitnya lebih baik, demikian juga fisiologi homeostasis
glukosa, sehingga dapat mengarah pada klasifikasi penyebab hipoglikemia yang lebih
lengkap, diharapkan pengelolaannya lebih spesifik.
DEFINISI
Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab yang sangat luas,
sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa plasma yang akhirnya menyebabkan
neuroglikopenia
. Definisi hipoglikemia pada neonatus masih tidak ada kesesuaian,
[3]
baik dalam buku teks maupun dalam journal, sehingga definisinya dibuat dari berbagai
sudut pandang
. Secara statistik, disebut nilai rendah bila dibawah 2 SD dari rerata
[4-6]
populasi sehat. Dengan pendekatan ini ternyata banyak kendala bila diterapkan untuk
menentukan hipoglikemia. Pertama, hasil tergantung pada asal sampel darah, metoda
pemeriksaan, dan sampel diambil dari plasma atau perifer. Kedua, Dalam penelitiannya
Sexson (1984) mendapatkan jadwal “early feeding” sangat berpengaruh pada kadar gula
darah, dan ini sangat bervariasi dari rumah sakit satu kerumah sakit yang lain, dan jumlah
ASI yang diberikan juga sangat bervariasi
. Ketiga, Hawdon, dkk (1992) dalam salah
[7]
satu penelitiannya menyebutkan, bahwa menentukan “bayi sehat” sangat sulit, karena
dalam penelitian tersebut mendapatkan 72% bayi baru lahir mempunyai satu atau lebih
risiko terjadi hipoglikemia
. Keempat, bila dilakukan penelitian longitudinal untuk
[8]
menentukan rentang normal kadar gula darah pada bayi sehat, ini merupakan dilemma
etika, sehingga yang memungkinkan dilakukan penelitian belah lintang untuk bayi yang
menyusui
. Berdasar pendekatan klinis: 1. berdasar manifestasi klinis, 2. berdasar
[8]
pendekatan epidemiologis, 3. berdasar perubahan akut pada respon sistem metabolik dan
endokrin serta fungsi neurologik, dan 4. berdasar keluaran neurologik jangka panjang.
Namun semuanya tidak ada yang memuaskan, dan semuanya sering menimbulkan
interpretasi yang salah. Pendekatan berdasar gejala klinis tidak tepat karena banyak
manifestasi klinis yang sama dengan problem neonatus yang lain. Pendekatan
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

epidemiologik dapat juga menyebabkan kesalahan interpretasi dengan menggunakan titik
batas yang hampir sama antara normoglikemia dan hipo atau hiperglikemia, karena
hipoglikemia menggambarkan kelainan biologik yang dapat terjadi dalam rentang ringan
sampai berat serta data yang diambil hanya dalam kelompok kecil. Sedangkan berdasar
keluaran neurologik, sangat terbatas karena kurangnya kontrol kasus non hipoglikemi
yang diamati, dan kurangnya permeriksaan patologi dan hanya sejumlah kecil saja kasus
hipoglikemi asimptomatik yang diamati
[5]
Cornblath & Reisner (1965) pertama kali yang mempublikasikan kadar gula darah
pada bayi normal, mereka mendapatkan 95% bayi cukup bulan >30 mg / dl dan 98.4%
bayi prematur >20 mg / dl. Mereka mendefinisikan hipoglikemia untuk bayi cukup bulan,
bila kadar gula darahnya kurang dari 30 mg / dl dalam 48 jam pertama dan 40-50 mg / dl
setelah usia 48 jam setelah lahir. Bayi SGA tidak termasuk dalam kelompok ini. Untuk
bayi berat badan lahir rendah, didefinisikan hipoglikemia, bila kadar gula darah <20 mg /
dl. Nilai inilah yang mendominasi pendapat untuk pengelolaan hipoglikemia neonatal
sampai bertahun-tahun
. Penelitian lain, menunjukkan bahwa kecuali pada jam
[9, 10]
pertama kehidupan, baik pada bayi prematur maupun genap bulan yang diberikan minum
susu seawal mungkin sangat jarang kadar gula darahnya kurang dari 40 mg/dL
.
[11]
Hoseth E, dkk (2000) dalam penelitiannya pada 223 bayi sehat, aterm, dan
mendapatkan ASI, kadar nilai tengah gula darah saat lahir 3,1 mmol / L (rentang 1,4 –
5,3), yang diambil dari umbilikus 4,9 mmol / L (rentang 1,9 – 7,4). Dalam 24 jam
pertama, nilai tengah 3,0 mmol / L (rentang 1,4 – 4,9). Setelah 24 jam pertama setelah
lahir nilai tengahnya 3,4 mm0l / L (rentang 2,1 – 5,3)
. Pada minggu pertama
[12]
kehidupan, bayi yang mendapat ASI kadar gula darahnya lebih rendah secara bermakna
(rerata 3,6 mmol/l dengan rentang 1,5 – 5,3) dibanding yang minum susu formula (rerata
4,0 mmol/L dengan rentang 2,5 – 6,2)
.
[13]
Bilamana glukosa dipandang dari segi sebagai bahan bakar metabolik pokok,
maka sebaiknya digunakan kadar yang aman. Banyak penulis menganjurkan kriteria
hipoglikemia untuk bayi dan anak bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dL, beberapa
penulis dengan kriteria lebih tinggi, 47 mg/dL (2.6 mmol/L). Sehingga pendekatan yang
aman pada bayi dan anak dengan kadar glukosa kurang dari 50 mg/dL harus dipantau
dengan baik, bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dL, maka harus dimulai tindakan
untuk menegakkan diagnosis dan mulai diberikan terapi. Bila pengukuran kadar glukosa
digunakan glukometer, maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan yang lebih akurat,
karena kadar glukosa pada “whole blood” lebih rendah 15% bila dibanding kadar dalam
serum atau plasma
. Dalam kesimpulan diskusi mengenai “hipoglikemia pada neonatus
[14]
membutuhkan definisi yang rasional”, jangan gunakan konsep “cutoff” kadar glukosa
darah untuk menentukan hipoglikemia
.
[4]
Dengan memperhatikan pertanyaan ”kapan disebut hipoglikemia?”, kadar glukosa
plasma pada bayi, anak dan dewasa kadar normalnya 70 – 100 mg/dL; ditemukan tanda
hipoglikemia neurofisiologik pada kadar 50 – 70 mg/dL; definisi hipoglikemia berat bila
kurang dari 40 mg/dL, dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL
.
[15]
INSIDENS
Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi baru
lahir berkisar antara 1 – 5 /1000 kelahiran hidup
. Pada bayi yang lahir dari ibu
[9, 16]
diabetes 8% - 25%
, pada bayi preterm 15%, secara umum pada bayi risiko tinggi
[6, 16]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

30% terjadi hipoglikemia
. Gutbenlet and Cornbbath, mengevaluasi hipoglikemia
[16]
secara prospektif dari tahun 1971 – 1973, mendapatkan insiden pada neonatus 4,4 / 1000
kelahiran hidup, untuk BBLR 15,6 / 1000 BBLR. Data pada anak yang lebih besar tidak
ada, namun diperkirakan 2 – 3 /1000 anak yang dirawat di rumah sakit
. Guthrie R
[17]
(1970), dalam penelitiannya pada bayi risiko tinggi, mendapatkan insidens hipoglikemia
asimptomatik 7,5%
. Osler FHA, dkk. (2003), meneliti di ruang perawatan anak
[18]
Rumah sakit di distrik Kilifi, Kenyan, pada pasien yang masuk di rumah sakit,
mendapatkan prevalensi hipoglikemia pada non neonatus 7,3%, sebagian besar karena
penyakit berat, malnutrisi dan malaria. Pada neonatus insdens 23%, sebagian besar
karena berat badan lahir rendah
. Wintergerst, KA (2006) dalam penelitiannya di
[19]
rumah sakit anak ”Packard” (Universitas Stanford) selama satu tahun, mendapatkan
18,6% pasien PICU dengan hipoglikemia
.
[20]
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Hipoglikemia, merupakan suatu keadaan kegawatan pada anak, walaupun banyak studi
menunjukkan jaringan otak dapat melepaskan substrat selain glukosa, khususnya pada
periode baru lahir dan pada saat puasa, namun tidak ada satupun substrat yang berhasil
memperbaiki sekuele neurofisiologik akibat kurangnya glukosa pada sistem syaraf pusat.
Efek neurologik ini menetap dan berhubungan dengan lamanya jaringan otak kekurangan
glukosa, sehingga diagnosis dan pengobatan dini sangat penting
.
[21, 22]
Gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan hipoglikemia neonatal, pertama kali
dilaporkan oleh Hartmann dan Jaudon (1937), namun komplikasi neurologik belum
pernah dilaporkan sampai tahun 1959 baru kemudian dilaporkan dua dari 8 neonatus
dengan hipoglikemia simptomatik berat menjadi spastik dan retardasi mental. Temuan
hipoglikemia neonatal merupakan penyebab potensial kerusakan otak dan kematian telah
dikonfirmasi oleh banyak peneliti
. Dilaporkan dalam penelitian jangka panjang 35%
[22]
hipoglikemia simptomatik dan 20% hipoglikemia asimptomatik pada bayi baru lahir
meninggalkan gejala sisa, Singh, dkk (1991) dalam penelitiannya pada 107 bayi,
menekankan bahwa hipoglikemia simptomatik cenderung meninggalkan gejala sisa
dibanding asimptomatik
. Koivisto, dkk (1972) dalam penelitiannya pada 151 bayi
[23]
yang diperiksa pada usia satu tahun dan 4 tahun, mendapatkan bayi yang hipoglikemia
asimptomatik dan euglikemia tidak ada perbedaan yang bermakna pada keluaran
neurologiknya, namun pada yang hipoglikemia simptomatik apalagi yang disertai kejang,
insidens kelainan neurologisnya 50%
. Pildes RS, dkk (1974) dalam penelitiannya
[24]
mendapatkan hipoglikemia masa neonatus setelah usia 5 – 7 tahun tinggi badan dan berat
badan tidak berbeda dengan kontrol, namun lingkar kepala lebih kecil dibanding kontrol.
Pada pemeriksaan EEG tidak didapatkan perbedaan bermakna dengan kontrol, namun
didapatkan kelainan neurologik yang bermakna dibanding kontrol. Skor IQ pada
hipoglikemia neonatal kurang dari 86 dibanding kontrol
. Penelitian Caraballo RH,
[1, 25, 26]
dkk (2004) selama 13 tahun, mendapatkan 15 pasien hipoglikemi neonatal, 12 pasien
(80%) didapatkan kejang fokal dan kelainan pada EEG yang dapat diatasi dengan baik,
sisanya dengan kejang refrakter, 13 pasien (87%) pada pencitraan neuroradiologik
didapatkan lesi parieto-occipital
. Pada bayi dan anak dengan hipoglikemia
[27]
asimptomatik didapatkan defek neurokognitif, antara lain gangguan pendengaran dan
respon “sensory evoke” dan gagalnya tes kinerja. Konsekuensi jangka panjang antara
lain: ukuran kepala kecil, IQ rendah dan pada pemeriksaan MRI terlihat kelainan spesifik.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

Karena banyaknya etiologi hipoglikemia yang mempunyai konsekuensi sama, maka
untuk menetapkan penyebab sekuele sangat sulit
. Penelitian di Kenya oleh Osier, dkk
[28]
(2003), kematian karena hipoglikemia pada non neonatus 20,2% sebagian besar karena
penyakit berat dan malnutrisi, pada neonatus kematian karena hipoglikemia 45,2%
.
[29]
Wysocki T, dkk (2003) meneliti 142 pasien diabetes tipe I pada anak sekolah berusia
antara 6 – 15 tahun, 41% dengan episode hipoglikemia berat dengan kejang dan koma
setelah 18 bulan terdapat penurunan IQ dibanding kontrol
. Wintergerst, KA (2006)
[30]
dalam penelitiannya di rumah sakit anak ”Packard” (Universitas Stanford) selama satu
tahun, mendapatkan kematian di PICU yang berhubungan dengan hipoglikemia 68%
.
[20]
Penelitian Melis D, dkk (2004) pada pasien glikogen storage disease tipe 1, yang terjadi
hipoglikemia berat berulang, terjadi kerusakan otak yang bermakna, dengan hasil tes IQ
rendah, kelainan gambaran EEG, visual, somatosensory, dan pendengarannya yang
berhubungan dengan seringnya masuk rumah sakit karena hipoglikemia
.
[31]
PATOFISIOLOGI
Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari penelitian
binatang percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa mempunyai substrat dan
pengaturan metabolisme hormonal yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi
gambarannya berbeda.
Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak
akan terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis
.
[14]
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah: glukosa,
asam amino dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang dibutuhkan. Glukosa
ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi karena adanya perbedaan konsentrasi
pada ibu dan plasma janin, kadar glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu.
Glukosa yang masuk ke janin dalam jumlah yang proposional untuk kebutuhan energi
yang dibutuhkan janin dengan kecepatan 5 - 7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan
kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem ensim yang terlibat dalam
glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin namun tidak aktif,
kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan. Pada hewan aktivitas ensim
untuk glukoneogenesis (pyruvate carboxylase, phosphoenol / pyruvate carboxykinase,
glucose-6-phosphatase, dan fructose 1,6 diphosphatase) sangat penting, pada janin
manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai periode
perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk mempertahankan euglikemia, pada saat lahir
tidak ada produksi glukosa oleh janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan
glukoneogenesis telah dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, walaupun pada
bayi yang sangat prematur. Ensim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis
glikogen sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit ”glycogen storage”, dalam 3 – 4 minggu terakhir
kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai kadar saat lahir
.
[10, 32]
Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilikal 60 – 80 % dari kadar glukosa vena
ibu
. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam pertama setelah lahir,
[6]
kadar glukosa darahnya tidak pernah dibawah 40 mg/dL, pada usia 4 – 6 jam berkisar
antara 45 – 80 mg/dL. Kadar glukosa dipertahankan segera setelah lahir dengan
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

pemecahan glikogen hepar (glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glukagon,
difasilitasi oleh turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8 – 12 jam pertama glikogen
berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari laktat,
gliserol dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan masukan
karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi. Hipoglikemia disebabkan
oleh berkurangnya suplai glukosa atau meningkatnya konsumsi glukosa. Karena
euglikemia pada mulanya tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang
kekurangan substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia
.
[5, 6, 33]
Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap dipertahankan dalam
rentang yang sempit, antara 60 – 100 mg /dL. Setelah makan maka kadar glukosa akan
meningkat sementara antara 120 – 140 mg/dL, setelah itu kembali kekadar semula
biasanya sekitar dua jam setelah absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon
merupakan dua hormon yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula
darah meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan merangsang hepar
untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya hepar dan otot)
kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai lemak. Bila kadar glukosa
turun, fungsi sekresi glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa dengan merangsang
hepar untuk melakukan glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah.
Pada keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui glukoneogenesis.
Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol yang
merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan glikogen dan memecah
protein otot menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk glukoneogenesis dalam
hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta
hidroksi butirat yang dapat digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian
besar jaringan, termasuk otak. Hipotalamus merangsang sistem syaraf simpatis dan
epinefrin yang disekresi oleh adrenal, menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila
hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormon pertumbuhan
dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel tubuh
. Insulin merupakan hormon pengatur utama, bila tidak bekerja atau kurang maka
[28]
terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi insulin mempertahankan euglikemia post
absorbsi. Pada orang normal bila di buat hipoglikemia dengan diberikan insulin, maka
pertama kali hepar yang berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi
hipoglikemia dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel
hepatosit dan merubah laktat, gliserol dan asam amino menjadi glukosa
(glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi maka tubuh
meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Glukagon
yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal, maka yang kedua adalah epinefrin,
bila glukagon dapat mengatasi keadaan hipoglikemia, maka epinefrin tidak diperlukan,
namun bila tidak ada glukagon maka epinefrin memegang peran penting
. Hormon
[34]
pertumbuhan dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat
. Otak
[3, 35]
merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton sebagai
sumber energi utama. Namun pada kenyataannya glukosa merupakan sumber energi
tunggal, pada organ ini masuknya glukosa kedalam sel diperantarai oleh “glut3
transporter” yang mempertahankan suplai glukosa yang tetap pada sel otak sampai kadar
glukosa sangat rendah (2,2 mM)
. Sehingga untuk mempertahankan kadar gula darah
[34]
normal tergantung pada: 1. Sistem endokrin yang normal untuk integrasi dan modulasi
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

mobilisasi substrat, interkonversi dan utilisasi; 2. Ensim untuk glikogenolisis, sintesis
glikogen, glikolisis, glukoneogenesis dan utilisasi bahan bakar metabolik lain dan
penyimpanan yang berfungsi baik; 3. Suplai lemak endogen, glikogen dan substrat
glukoneogenik potensial (asam amino, gliserol dan laktat) yang adekuat. Orang dewasa
normal mampu mempertahankan kadar gula darah normal atau mendekati normal, kira-
kira sampai seminggu, bahkan bila obes dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus
dan anak sehat, tidak dapat mempertahankan kadar glukosa normal bila dipuasakan
dalam jangka pendek (24 sampai 36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa
plasma yang progresif sampai ke kadar hipoglikemia. Kelainan sekresi hormon,
interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar metabolik, menyebabkan kelainan
produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia pada anak. Untuk evaluasi
dan pengobatan hipoglikemia pada anak diperlukan pemahaman faktor-faktor yang yang
mengatur metabolisme glukosa pada dewasa dan aspek yang unik metabolisme glukosa
pada bayi dan anak
.
[35]
Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan hipoglikemia dengan menurunkan
sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan dan
kortisol. Perubahan hormonal tersebut dikombinasi dengan meningkatnya keluaran
glukosa hepar, bahan bakar alternatif yang ada dan penggunaan glukosa menurun.
Respon pertama kali yang terjadi adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan
pelepasan cadangan glikogen hepar disertai penurunan insulin dan peningkatan glukagon.
Bila cadangan glikogen habis maka terjadi peningkatan kerusakan protein karena kortisol
meningkat, glukoneogenesis hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber
produksi utama glukosa. Kerusakan protein tersebut digambarkan dengan meningkatnya
kadar asam amino glukonegenik, alanin dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar
glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian diikuti
peningkatan kadar epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Ketiga kejadian diatas,
meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam plasma, yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar alternatif tubuh dan menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan
keton urin dan plasma menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam
lemak bebas plasma juga merangsang produksi glukosa. Hipoglikemia terjadi bila satu
atau lebih mekanisme keseimbangan diatas gagal, atau penggunaan glukosa yang
berlebihan seperti pada hiperinsulinisme; atau produksi yang kurang seperti pada
penyakit “glycogen storage”; atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan atau
kortisol
.
[28, 35]
ETIOLOGI
Secara garis besar, untuk mempermudah pembicaraan, maka etiologi hipoglikemia dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu: kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa
berlebihan dan produksi glukosa kurang.
Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
a. Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes, hipoglikemia hiperinsulinisme
menetap pada bayi, tumor yang memproduksi insulin dan ”child abuse”).
Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang berlebihan terutama
akibat rangsang ambilan glukosa oleh otot. Pada bayi, hiperinsulinemia dapat
terjadi karena defek genetik yang menyebabkan aktivasi reseptor sulfonilurea
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

akibat sekresi insulin yang menetap. Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia
hiperinsulin endogen menetap pada bayi yang sebelumnya disebut sebagai
nesidioblastosis. Bayi dari ibu penderita diabetes, juga mempunyai kadar insulin
yang tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in utero akibat
jeleknya kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang menyebabkan
hiperinsulinemia pada bayi. Pada anak, hiperinsulinemia jarang, penyebabnya
tumor yang memproduksi insulin. Penggunaan insulin eksogen atau pemberian
obat yang menyebabkan hipoglikemia kadang dapat terjadi karena kecelakaan
atau salah penggunaan, sehingga hal ini pada anak harus dipertimbangkan
.
[28]
b. Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs, defek ”respiratory chain”).
Kelainan ini sangat jarang, mengganggu pembentukan ATP dari oksidasi glukosa,
disini kadar laktat sangat tinggi
.
[28]
c. Defek pada produksi energi alternatif (defisiensi Carnitine acyl transferase,
defisiensi HMG CoA, defisiensi rantai panjang dan sedang acyl-coenzym A
dehydrogenase, defisiensi rantai pendek acyl-coenzyme A dehydrogenase).
Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga tubuh
sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan masalah bila puasa
dalam jangka lama yang seringkali berhubungan dengan penyakit gastrointestinal
.
[28]
d. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk hipertiroidisme
.
[28]
Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa
a. Simpanan glukosa tidak adekuat (prematur, bayi SGA, malnutrisi, hipoglikemia
ketotik). Kelainan ini sering sebagai penyebab hipoglikemia, disamping
hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal ini dapat dibedakan
dengan melihat keadaan klinis dan adanya hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi
pada anak yang kurus, usia antara 18 bulan sampai 6 tahun, biasanya terjadi
akibat masukan makanan yang terganggu karena bermacam sebab
.
[28, 36]
Penelitian terakhir mekanisme yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah
gagalnya glukoneogenesis
.
[36]
b. Kelainan pada produksi glukosa hepar, antara lain: defisiensi Glukose-6-
phosphatase (glycogen storage disease tipe 1), defisiensi debrancher (glycogen
storage disease tipe 3), defisiensi phosphatase hepar (glycogen storage disease
tipe 6, defisiensi glycogen synthase, defisiensi fructose 1,6 diphosphatase,
defisiensi phospho-enol pyruvate, defisiensi pyruvate carboxylase, gaslactosemia,
intoleransi friktose herediter, penyakit maple urine syrup). Kelainan ini
menurunkan produksi glukosa melalui berbagai defek, termasuk blokade pada
pelepasan dan sintesis glukosa, atau blokade atau menghambat gluikoneogenesis.
Anak yang menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia,
karena penyakitnya bersifat kronik
.
[28]
c. Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon pertumbuhan,
defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini karena hormon
pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada pembentukan energi alternatif
dan merangsang produksi glukosa. Kelainan ini mudah diobati namun yang
sangat penting adalah diagnosis dini
.
[28]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

d. Toksin dan penyakit lain. (etanol, salisilat, propanolol, malaria). Etanol
menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat menyebabkan
hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan diabetes yang diobati insulin
yang tidak dapat mengurangi sekresi insulin sebagai respon bila terjadi
hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat menyebabkan hipo ataupun
hiperglikemia. Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan
pada glukoneogenesis
.
[28]
KLASIFIKASI
Klasifikasi hipoglikemia, sangat bermacam-macam, karena penulis membuat klasifikasi
dari berbagai pandangan (pendekatan klinis, menetap / transien, dan banyak lagi)
[9, 20, 37,
. Namun untuk mempermudah, kalsifikasi bedasar timbulnya hipoglikemia (lihat tabel
38]
1)
Pada neonatus hipoglikemia transien, perlu perhatian khusus karena mungkin
[9].
asimptomatik.
Tabel 1.
Klasifikasi hipoglikemia pada bayi dan anak
Neonatus Transien Neonatus / bayi atau anak menetap
1. Berhubungan dengan tidak adekuatnya
1. Hiperinsulinemia
fungsi substrat atau ensim
a. Nesidioblastosis
b. Hiperplasia sel beta
a. Prematuritas
c. Adenoma sel beta
b. SGA
d. Sindroma Beckwith-Wiedemann
c. Bayi kembar kecil
e. Sensitif terhadap leucine
d. Bayi dengan distres respirasi berat
2. Defisiensi hormon
e. Bayi dari ibu toksemia gravidarum
2. Berhubungan dengan hiperinsulinemia
a. Panhipopituitarisme
b. Defisiensi hormon pertumbuhan
a. Bayi dari ibu Diabetes
c. Defisiensi ACTH
b. Eritroblastosis foetalis
d. Penyakit Addison
e. Defisiensi glukagon
f. Defisiensi epinefrin
3. Kekurangan substrat
a. Hipoglikemia ketotik
b. Penyakit ”Maple syrup urine”
4. Penyakit ”Glycogen storage”
a. DefisiensiGlucose-6-phosphatase (tipe
I)
b. DefisiensiAmylo-1,6-glucosidase (tipe
III)
c. Defisiensi Liver phosphorilase (tipe
IV)
d. Defisiensi glicogen synthetase
5. Gangguan gluconeogenesis
a. Intoksikasi alkohol akut
b. Hypoglycin, defisiensi carnitine dan
stactyloside
c. Into ksikasi salisilat
d. Defisiensi Fructose-1,6-diphosphatase
e. Defisiensi Pyruvate carboxylase
f. Defisiensi phosphoenolpyruvate-
carboxykinase (PEPCR)
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

6. Defek ensim yang lain
a. Galactosemia
b.
Intoleransi fruktose
(dikutip dari: Sperling MA (1986) dengan modifikasi)
GEJALA
Hipoglikemia, walaupun jarang terjadi pada anak, tetapi banyak pada bayi. Namun masih
tetap merupakan problem untuk dokter anak, karena: Pertama, gejalanya samar-samar
dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis tergantung pada indeks kepekaan yang
tinggi. Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks
Penelitian Wintergerst KA, dkk (2006) pada 56 anak normal, ternyata dapat
[39, 40].
mentoleransi puasa sampai 24 jam tanpa gejala hipoglikemia, walaupun kadar gula darah
kurang dari 40 mg/dL (1,67 mmol/L), (lihat gambar 1)
. Pada bayi yang berusia
[39, 41].
lebih dari dua bulan, anak dan dewasa, penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2
mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang
berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.
Gejala adrenergik cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada
hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan
gejala neuroglikopenia
. Gejala hipoglikemia, dapat diklasifikasikan dalam dua
[39]
kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem syaraf autonom dan berhubungan dengan
kurangnya suplai glukosa pada otak (neuroglikopenia)
. Gejala akibat dari sistem
[3, 6]
syaraf autonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia
adalah pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat konsentrasi.
Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan lemah
. Pada neonatus
[3, 39]
tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis, hipotonia, iritabel,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan pucat. Namun hal ini
juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misal kelainan bawaan pada
susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernikterus. Demikian
juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit
jantung, distres respirasi, asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin.
Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada ”glycogen storage disease” tipe I
.
[21, 42]
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007


Gambar 1. Rerata nilai gula darah dengan standard deviasi dan nilai ekstrem selama 24
jam puasa pada 56 anak normal usia antara 2 tahun – 17 tahun, gula darah antara 33 – 77
mg/dL, berkorelasi erat dengan usia
.
[41]
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat penting
untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah pertama yang
diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain
adalah: Beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif)
dan elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol,
hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino
(kuantitatif)
.
[21, 43]
Apabila pada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimptomatik,
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka pasien
dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat
diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan
diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu
untuk pemberian dekstrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah
secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin
pada jam 8, 16 dan 20, kemudian diberikan glukagon 30 – 100 pg/kgBB intra muskuler
sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan terakhir
harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila dicurigai defek pada ensim
tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik plasma dan atau urin
.
[21]
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes toleransi
leucine untuk menentukan diet dikemudian hari dilakukan setelah pasien normoglikemi,
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk menemukan adenoma pankreas,
pemeriksaan fungsi adrenal
.
[43]
PENCITRAAN
Bila hipoglikemi hiperinsulinisme menetap, maka dilakukan pemeriksaan USG abdomen,
CT Scan dan MRI hanya sedikit membantu untuk membedakan bentuk fokal atau difus.
Bila dicurigai hipopituitarisme, dilakukan MRI kepala, untuk melihat tumor pada
hipofisis atau hipotalamus, atau mungkin ada kelainan bawaan
. Bilamana
[28, 44]
pemeriksaan non invasif tidak berhasil maka dilakukan pemeriksaan invasif dengan
endoscopic ultrasound, namun hasilnya tergantung operatornya. Bila masih belum
berhasil untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan transhepatic venous sampling
.
[44]
DIAGNOSIS
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias
Whipple’s yaitu: 1. manifestasi klinis yang khas, 2. kejadian ini harus bersamaan dengan
rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metoda yang peka dan
tepat, dan 3. gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia. Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat
ditetapkan
. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
[5]
penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi
. Untuk menetapkan diagnosis
[45]
hipoglikemia asimptomatik lebih sulit, walaupun juga sebagai penyebab kerusakan otak
. Dengan teknik pemeriksaan mikro untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam
[5]
plasma, maka menjadi mungkin untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol
hipoglikemia dan mencari mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah.
Jadi yang diukur adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia, antara
lain epinefrin, hormon pertumbuhan, kortisol dan glukagon, bersama dengan substrat,
antara lain: asam lemak bebas, gliserol dan badan keton
.
[5, 45]
Pendekatan yang dilakukan bilamana dicurigai hipoglikemia, adalah anamnesis
yang teliti dilanjutkan pemeriksaan fisik dengan ini dapat memberikan petunjuk penting
kearah diagnosis. Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat
mengarahkan pada ”inborn error of metabolism”, seperti galaktosemia, penyakit ”maple
syrup urine” dan intoleransi fruktose. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong
kearah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme. Hepatomegali
seringkali terjadi pada ”glycogen storage disease” atau defek pada glukoneogenesis.
Miopati merupakan gambaran dari defek oksidasi asam lemak dan ”glycogen storage
disease”
.
[14]
Secara ringkas dapat digunakan alur diagnosis pada gambar 2.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007


Gambar 2.
Skema alur diagnosis hipoglikemia dkutip dari
[45]
PENGOBATAN
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin mengembalikan kadar
gula darah kembali normal, menghidari hipoglikemia berulang sampai homeostasis
glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia.
Sehingga harus diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia
.
[3]
Medikamentosa
Bila pasien tidak ada kelainan neurologik yang mengganggu proses menelan,
hipoglikemia simptomatik diberikan karbohidrat oral dengan hasil yang memuaskan dan
tidak ada perbedaan bermakna dengan yang diberikan dektrosa intravena
. Bila tidak
[46]
dicurigai intoleransi fruktose herediter dapat diberikan sari jeruk ditambah sukrose (dua
sendok teh setiap gelas) biasanya efektif. Bila perlu dapat diberikan dekstrosa 15 – 20 %
intravena secara cepat, dengan dosis 0,25 – 0,50 gram/kgBB. Karena dapat terjadi
”rebound” hipoglikemia maka harus dilakukan pemberian rumatan dektrosa 4 – 6
mg/kgBB/menit sampai pasien stabil euglikemia.
Pada neonatus, bila hipoglikemia terjadi pada bayi aterm asimptomatik, berikan
larutan glukosa atau susu formula, bila memungkinkan minum ASI, bila tidak dapat
minum jangan berikan dengan pipa nasogastrik, berikan akses intravena
. Terapi
[47]
pertama yang dianjurkan adalah pemberian infus glukosa intravena 1 gram/kgBB
(glukosa 50%, 2 ml/kgBB), diikuti dengan 10 mg/kgBB/menit (glukosa 30%, 50
ml/kgBB/24 jam). Harus diingat, bahwa ini adalah dosis perkiraan, sehingga gula darah
harus dipantau terus menerus paling sedikit selama 24 jam setelah gula darah stabil,
walaupun umumnya hipoglikemia pada bayi baru lahir sebagian besar transien.
Kemudian infus glukosa diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan meningkatnya
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

kemampuan minum peroral. Bila glukosa dihentikan secara mendadak mungkin dapat
terjadi hipoglikemia berulang. Infus jangka lama dengan glukosa yang kental tersebut
dapat menyebabkan komplikasi trombosis dan masukan cairan yang berlebihan, sehingga
pemberian cairan juga harus diperhatikan. Bila dengan terapi diatas tidak berhasil,
banyak penulis menganjurkan diberikan hidrokortison 5 mg/kgBB/24 jam dalam dosis
terbagi, dapat pula diberikan glukagon secara intramukuler 50 ug/kgBB setiap 4 jam
karena dapat meningkatkan ensim phosphoenolpyruvate carboxykinase
.
[16, 17, 21]
Bila terjadi hipoglikemia akut, diberikan bolus intravena dekstrose 10%, 2,5 ml /
kgBB., diikuti dengan pemberian infus intravena sesuai dengan produksi glukosa hepar.
Pada bayi, kira-kira 5 – 8 mg/kgBB/menit, pada anak 3 – 5 mg/kgBB/menit. Dengan cara
ini dapat mempertahankan kadar glukosa plasma diatas 2,5 mmol/L. Anak dengan
hiperinsulinemia, kebutuhannya lebih tinggi. Pengobatan jangka panjang pada anak
dengan hipoglikemia bervariasi tergantung etiologinya
.
[21]
Hipoglikemia ketotik, kelainan “glycogen storage”, defek pada metabolisme asam
lemak bebas, dan hiperinsulinisme ringan, hipoglikemia dapat dicegah dengan pemberian
makan yang frekuen dengan diet yang di rancang khusus dan dapat diberikan dektrose
parenteral yang dapat memberikan respon cepat bila makan kurang adekuat atau problem
gastrointestinal atau penyakit yang lain. Untuk defisiensi fructose diphosphatase,
hindarkan diet yang mengandung fruktose
.
[45]
Untuk hiperinsulinisme, maka digunakan pendekatan bertahap. Tahap pertama,
biasanya dengan pemberian makan yang frekuen. Tahap selanjutnya biasanya diberikan
diazoxide (15 – 20 mg/kgBB/hari). Octreotide (25 - 100 ug/kgBB/hari) biasanya
merupakan obat pilihan kedua. Nifedipine merupakan “calcium channel blocker”juga
dapat digunakan. Pembedahan direkomendasikan bila pengobatan gagal atau dicurigai
adanya tumor yang memproduksi insulin. Hormon pertumbuhan dan atau kortisol
merupakan pengobatan spesifik untuk anak dengan hipoglikemia dengan hipopituitarisme
atau insufisiensi adrenal. Bayi yang lahir prematur dan SGA harus diberikan intravena
atau peroral segera setelah lahir untuk mencegah hipoglikemia.
Untuk pasien hipoglikemia dan diabetes, pengobatan tergantung dari kesadaran
penderita, bila pasien dalam keadaan sadar, berikan 15 gram karbohidrat (3 sendok teh
gula atau tablet glukosa) melalui mulut. Yang penting adalah harus ditunggu selama 15
menit sesudah pemberian pengobatan awal sebelum dilakukan pemeriksaan gula darah
ulangan, karena kemungkinan terjadi pengobatan yang berlebihan yang seringkali malah
menyebabkan hiperglikemia. Bila lebih dari satu jam sebelum jadual makan berikutnya
diberikan tambahan 15 gram karbohidrat dengan tambahan protein (roti, biskuit, dll)
mungkin dapat membantu. Bila kesadaran pasien menurun, maka harus hati-hati terjadi
aspirasi, pengobatan tergantung pada keadaan pasien.
Bila dirumah, glukagon intramuskuler merupakan pengobatan pilihan, keluarga
atau orang terdekat dengan pasien diabetes yang diberikan insulin harus dapat melakukan
hal ini. Bila dirumah sakit, maka diberikan larutan dekstrose 25%. Dekstrose tidak
menyebabkan mual dan mutah seperti pada pemberian glukagon. Glukagon harus
diberikan bilamana akses intravena mengalami kesulitan. Setelah pengobatan
hipoglikemia, maka perlu diperhatikan diet dan pola aktivitas untuk menentukan
penyebabnya agar tidak terjadi hipoglikemia berulang.
Pengobatan hormonal, diberikan untuk terapi pengganti bilamana defisiensi
hormonal, kortisol, hormon pertumbuhan, atau untuk menekan produksi hormon yang
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

berlebihan, yaitu Somatostatin (Octreotide) merupakan obat pilihan kedua, merupakan
peptida dengan kerja farmakologik sama dengan somatostatin, dengan menghambat
sekresi insulin. Diazoxide merupakan obat anti hipertensi yang dapat menekan sekresi
insulin. Nifedipine, merupakan “calcium channel blocker” yang menurunkan sekresi
insulin
.
[28, 45, 48]
Pembedahan
Pembedahan untuk hiperinsulinisme biasanya dilakukan bilamana terapi medikamentosa
gagal atau bilamana pasien anak dengan kemungkinan tumor yang memproduksi insulin.
Biasanya operasi bayi dengan hipoglikemia hiperinsulinisme menetap pankreas diambil
89 - 95%. Bilamana dengan ini tidak berhasil, maka ditambahkan obat-obatan atau
dilakukan pengangkatan pankreas total. Pada anak dengan tumor yang memproduksi
insulin, hanya tumor saja yang diangkat
.
[28, 43, 44]
Dietetik
Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia, tergantung pada penyebabnya, pada pasien
dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat menyebabkan
hipoglikemia. Pada pasien hipoglikemia ketotik, penyakit ”glycogen storage”, dan
penyakit lain yang harus menghindari puasa, harus dihindarkan puasa dalam jangka
waktu lama dan disediakan makanan yang berbasis karbohidrat
.
[28]
KONSULTASI
Evaluasi dan pengobatan anak dengan hipoglikemia, membutuhkan pendekatan tim.
Biasanya pada evaluasi pertama adalah ahli endokrin anak dan pengobatan tergantung
dari hasil evaluasi. Sebaiknya bilamana didapatkan kelainan metabolik familial dibantu
oleh ahli genetik. Ahli gizi, diperlukan untuk memberikan masukan untuk menjamin
masukan kalori pada anak dengan cadangan gula yang tidak adekuat
.
[28]
PROGNOSIS
Tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit ”inborn errors of metabolism”
dan defisiensi hormonal, membutuhkan pengobatan selama hidup, sebaliknya
hipoglikemia ketotik umumnya menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan
nutrisi yang adekuat untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia, tergantung
pada beratnya penyakit, respon terhadapa pengobatan, dan lesinya fokal atau difus. Pada
lesi fokal umumnya dapat diobati dengan pembedahan. Hiperinsulinisme ringan yang
memberikan respon dengan diazoxide, membutuhkan pengobatan jangka panjang, tetapi
anak dapat hidup normal. Pada lesi difus yang tidak memberikan respon dengan
pengobatan, tidak sepenuhnya dapat diobati dengan pankreatektomi dan akan timbul
problem hipoglikemia dan gangguan perkembangan yang berkelanjutan
.
[28]
RINGKASAN
Walaupun merupakan obyek yang sangat menarik, hipoglikemia pada bayi dan anak
masih merupakan tantangan untuk kita. Keadaan hipoglikemia harus cepat didiagnosis
dan diobati dan tentunya harus dicari penyebabnya. Kelambatan pengobatan dapat
menyebabkan kerusakan otak, bahkan sampai kematian, khususnya pada bayi prematur
dan bayi baru lahir.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

KEPUSTAKAAN
[1] Kappy MS. Carbohydrate metabolism and hypoglycemia. In: Michael S Kappy RMB, Claude J Migeon, ed.
The diagnosis
and treatment of endocrine disorders in childhood and adolescence
. 4 ed. Springfield, Illionis, USA: Charles C Thomas Pub 1994:919
- 59.
[2] Cornblath M. Clinical Conference: Infant of Diabetic Mothers. Pediatrics. 1961;28:1024 - 6.
[3] Service FJ. Hypoglycemic disorders. The New England Journal of Medicine. 1995;332:1144 - 52.
[4] Marvin Cornblath RS, Albert Aynsley-Green, June K Lloyd. Hypoglycemia in Infancy: The Need for a Rational
Definition. Pediatrics. 1990;85:834 - 7.
[5] Marvin Cornblath JMH, Anthony F Williams, Albert AynsleyGreen, Martin P WardPlatt, Robert Schwartz, Satish C
Kalhan. Controversies Regarding Definition of Neonatal Hypoglycemia: Suggested Operational Thresholds. Pediatrics.
2000;105:1141 - 5.
[6] Ilene Claudius CF, Richard Boles. The Emergency Department Approach to Newborn and Childhood Metabolic Crisis.
Emerg Med Clin N Am. 2005;23:843 – 83.
[7] Sexson W. Incidence of neonatal hypoglycemia: A matter of definition. Journal of pediatrics. 1984;105:149 - 50.
[8] Hawdon JM WPM, McPhail S, Cameron H, Walkinshaw SA. Prediction of impaired metabolic adaptation by antenatal
Doppler studies in small for gestational age fetuses. Arch Dis Child. 1992;67:789 - 92.
[9] Sperling MA. Hyoglycemia in infant and children. In: Lavin N, ed.
Manual of Endocrinology and Metabolism
. 1st ed.
Boston, Toronto: Little, Brown and Company 1986:443 - 53.
[10] WHO. Hypoglycemia of the newborn: A review of literature. 1997:1-55.
[11] G Srinivasan RP, G Cattamanchi, et al. Plasma glucose values in normal neonates: A new look. J Pediatr. 1986;109:114.
[12] Eva Hoseth AJ, Finn Ebbesen, Margrethe Moeller. Blood glucose levels in a population of healthy, breast fed, term infants
of appropriate size for gestational age. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2000;83:117 - 9.
[13] Nicholl R. What is the normal range of blood glucose concentrations in healthy term newborns? Arch Dis Child.
2003;88:238 - 9.
[14] Aida N Lteif WS. Hypoglycemia in infants and children. Endocrinol Metab Clin North Am 1999;28:619 - 46.
[15] Stanley CA. Hypoglycemia. In: Sally Radovick MHM, ed.
Pediatric Endocrinology: Practical Clinical Guide
. Totowa,
New Jersey: Humana Press 2003:511 - 21.
[16] McGowan JE. Neonatal Hypoglycemia. NeoReviews. 1999:6 - 15.
[17] Ronald L Gutberlet MC. Neonatal Hypoglycemia Revisited, 1975. Pediatrics. 1976;58:10-7.
[18] Richard Guthrie GVl, Linda Glenn. The Frequency of Asymptomatic Hypoglycemia in High Risk Newborn Infants.
Pediatrics. 1970;46:933 - 6.
[19] F H A Osier JAB, A Ross, F Sanderson, S Mohammed, C R J C Newton. Abnormal blood glucose concentrations on
admission to a rural Kenyan district hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621 – 5.
[20] Kupper A. Wintergerst BB, Laura Gandrud, Becky J. Wong, Saraswati Kache, Darrell M. Wilson. Association of
Hypoglycemia, Hyperglycemia, and Glucose Variability With Morbidity and Death in the Pediatric Intensive Care Unit.
PEDIATRICS. 2006;118:173 -9.
[21] Robert E Greenberg RC. The critically ill child: Hypoglycemia. PEDIATRICS. 1970;46:915 - 20.
[22] Nicole Boluyt AvK, Martin Offringa. Neurodevelopment After Neonatal Hypoglycemia: A Systematic Review and Design
of an Optimal Future Study. PEDIATRICS. 2006;117:2231 - 43.
[23] Singh M SP, Paul VK, Deorari AK, Sundaram KR, Ghorpade MD, Agadi A. Neurodevelopmental outcome of
asymptomatic and symptomatic babies with neonatal hypoglycaemia. Indian journal of medical research. 1991;94:6 - 10.
[24] Koivisto M B-SM, Krause U. Neonatal symptomatic and asymptomatic hypoglycemia: A follow-up study of 151 children.
Dev Med Child Neurol. 1972;14:603 – 14.
[25] Rosita S. Pildes MC, Irvina Warren, Edward Page-El, Salvatore di Menza, Doris M. Merritt, Antonia Peeva. A Prospective
Controlled Study of Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics. 1974;54:5 - 14.
[26] Hermansen MC. Perinatal Causes of Cerebral Palsy. Clin Perinatol. 2006;33:15 - 6.
[27] Roberto H. Caraballo DS, Marcela Mozzi, Alberto Guerrero, Javier N. Adi, Ricardo O. Cerso´simo, Natalio Fejerman.
Symptomatic Occipital Lobe Epilepsy Following Neonatal Hypoglycemia. Pediatr Neurol. 2004;31:24 - 9.
[28] Hoffman RP. Hypoglycemia. EMedicine 2007 [cited; Available from:
http://www.emedicine.com/ped/topic1117.htm
[29] F H A Osier JAB, A Ross, F Sanderson, S Mohammed, C R J C Newton. Abnormal blood glucose concentrations on
admission to a rural Kenyan district hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621 - 5.
[30] Tim Wysocki MAH, Nelly Mauras, Larry Fox, Alexandra Taylor, S. Craig Jackson, Neil H. White. Absence of Adverse
Effects of Severe Hypoglycemia on Cognitive Function in School-Aged Children With Diabetes Over 18 Months. Diabetes Care.
2003;26:1100 – 5.
[31] Daniela Melis GP, Roberto Della Casa, Michelina Sibilio, Alfonso Romano, Francesco Di Salle, Raffaele Elefante,
Giuseppina Mansi, Lucio Santoro, Anna Perretti, Roberto Paludetto, Luigi Sequino, Generoso Andria. Brain Damage in Glycogen
Storage Disease Type I. J Pediatr. 2004;144:637 - 42.
[32] Agneta Sunehag MWH. Approach to hypoglycemia in infants and children. 2007 [cited; Available from:
http://patients.uptodate.com/print.asp?print=true&file=pediendo/12220
[33] Chan SW. Neonatal hypoglycemia. 2007 [cited; Available from:
http://patients.uptodate.com/topic.asp?file=neonatol/5898
[34] Be´atrce Desvergne LM, Walter Wahli. Transcriptional Regulation of Metabolism. Physiol Rev. 2006;86:465 - 514.
[35] Luc Tappy EJ, Philippe Schneiter. Autoregulation of Glucose Production. News Physiol Sci. 2000;15:198 - 202.
[36] Lorentz WB. Ketotic Hypoglycemia and Hypopituitarism. Pediatrics. 1979;63:414 - 5.
[37] Charles A Stanley LB. The Causes of Neonatal Hypoglycemia. The New England Journal of Medicine. 1999;340:1200-1.
[38] Service FJ. Classification of hypoglycemic disorders. Endocrinol Metab Clin North Am. 1999;28:501 - 17.
[39] Philip A Gruppuso RS. Hypoglycemia in Children. pediatrics in review. 1989;11:117 - 24.
[40] Aideen M. Moore MP. Symptomatic Hypoglycemia in Otherwise Healthy, Breastfed Term Newborns. Pediatrics.
1999;103:837 - 9.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

[41] Chaussain JL. Glycemic response to 24-hour fast in normal children: III. Influence of age. J Pediatr 1977;91:711 - 4.
[42] Schwartz R. Hypoglycemia in neonatal period. Pediatrics. 1961;28:523-4.
[43] James P. Hamilton LB, Robert Kaye, C. Everett Koop. Subtotal pancreatectomy in the management of severe persistent
idiopatic hypoglycemia in children. Pediatrics. 1967;39:49 - 58.
[44] Emily Finlayson OHC. Surgical treatment of insulinomas. Surg Clin N Am. 2004;84:775 – 85.
[45] Shah I. Approach to Hypoglycemia. 2001 18-09-2001 [cited; Available from:
http://www.pediatriconcall.com/fordoctor/DiseasesandCondition/approach_to_hypoglycemia.asp
[46] Hubert Barennes IV, Nicolas Nagot, Philippe Van de Perre, Eric Pussard. Sublingual Sugar Administration as an
Alternative to Intravenous Dextrose Administration to Correct Hypoglycemia Among Children in the Tropics. Pediatrics.
2005;116:648 - 53.
[47] Nancy Wight KAM, and The Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee. Guidelines for Glucose
Monitoring and Treatment of Hypoglycemia in Breastfed Neonates. Breastfeeding Medicine. 2006;1:178 - 84.
[48] Charlotte Kane KJL, Paul R.V. Johnson, R.F.L. James, Peter J. Milla, Albert Aynsley-Green, Mark J. Dunne. Therapy for
Persistent Hyperinsulinemic Hypoglycemia of Infancy: Understanding the Responsiveness of b Cells to Diazoxide and Somatostatin. J
Clin Invest. 1997;100:1888 – 93.
Diajukan pada PKB Palembang 10 – 11 Nopember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar