Jumat, 04 Februari 2011

LAPORAN KEUANGAN (PAJAK)

1.LABA-RUGI
Dalam akuntansi pajak , laporan laba rugi yang disingkat L/R lebih banyak disebut sebagai laporan laba rugi dengan harapan wajib pajak lebih terbiasa dengan perkataan laba di banding rugi. Dan laporan ini menggambarkan hasil usaha suau perusahaan selama suatu periode tertentu.
Berdasarkan istilah laba, dikenal dua pengertian yang seharusnya tidak perlu di bedakan , yaitu :
a. laba komersial
b. laba fiscal

A. LABA KOMERSIAL
Adalah besarnya laba yang dihitung oleh wajib pajak sesuai dengan system serta prosedur pembukuan yang wajar yang diakui dalam standar akuntansi keuangan (SAK).
Laba bersih komersial dapat dihitung wajib pajak tanpa atau dapat memperhatilkan ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan system atau prosedur terkait.
Secara umum bentuk laporan laba rugi yang dipergunakan oleh wajib pajak disusun sebagai berikut :
Penghasilan Rp.XXX
HPP Rp.XXX
Laba kotor Rp.XXX
Biaya usaha Rp.XXX
Laba usaha Rp.XXX
Pendapatan dan biaya diluar usaha Rp.XXX
Laba bersih komersial sebelum pajak Rp.XXX
Pajak penghasilan Rp.XXX
Laba bersih komersial setelah pajak Rp.XXX
Laba bersih secara komersial mencerminkan kondisi keuangan atau kondisi yang sesungguhnya dari kegiatan usaha perusahaan yang dapat ditelusuri, dibuktikan kebenaranyya dari berbagai perhitungan seperti dari arus kas, arus bank, arus persediaan, dan berbagai arus lain, sesuai pembukuan yang dilaksanakan ole wajib pajak.
Besarnya laba komersial setelah pajak berkaitan dengan besarnya aktiva maupun passiva pada neraca terkait yang dibuat oleh wajib pajak. Apabila besarnya laba setelah pajak ini salah maka neraca yang akan di buat juga akan salah.
Laba kena pajak atau penghasilan kena pajak adalah laba yang di peroleh wajib pajak setelah memperhitungkan ketentuan perpajakan berkaian dengan pengakuan penghasilan biaya, metode akuntansi, dan juga ketentuan khusus berkaitan dengan pengakuan perpajakan maupun akuntansi.
Laba setelah pajak diakui oleh pada neraca adlah dihitung dari laba komersial, bukan dari laba fiscal, kecuali pada laba komersial terjadi kesalahan dalam jurnal maupun posting, sehingga laba setelah pajak dihitung dari laba fiscal.
Pada dasarnya laba komersial boleh berbeda dengan laba kena pajak tetapi besarnya laba setelah pajak harus sama, dihitung dari laba komersial maupun laba kena pajak.

B. LABA FISKAL
Laba fiscal untuk wajib pajak badan identik dengan laba kena pajak tetapi untuk wajib pajak perseorangan, dari laba fiscal untuk menjadi laba kena pajak harus dikurangai terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
2.LAPORAN LABA RUGI
Wajib pajak di dalam membuat laporan laba rugi, dapat mempergunakan berbagai cara seperti berikut :
 Belum mempertimbangkan koreksi fiscal
 Sudah mempertimbangkan koreksi fiscal
 Penghasilan sudah terkena pajak

2.1 LAPORAN LABA RUGI BELUM MEMPERTIMBANGKAN KOREKSI FISKAL
Apabila laporan laba rugi yang dibuat wajib pajak di susun belum mempertimbangkan koreksi fiscal atau sama dengan laporan laba rugi komersial, maka besarnya koreksi fiscal dapat dilaporkan sebagai lampiran perhitungan. Untuk mendapatkan penghasilan kena pajak pada laporan laba rugi setelah ditemukannya laba bersih dilanjutkan dengan perhitungan sebagai berikut :
Penjualan Rp.XXX
HPP Rp.XXX
Laba kotor Rp.XXX
Biaya usaha Rp.XXX
Laba usaha Rp.XXX
Pendapatan dan biaya di luar usaha Rp.XXX
Laba bersih Rp.XXX
Koreksi Fiskal Rp.XXX
Penghasilan kena pajak Rp.XXX
PPh terutang Rp.XXX
Laba setelah pajak Rp.XXX
Penghasilan kena pajak dihitung dari laba bersih secara komersial dikurangi atau ditambah dengan koreksi fiscal. Secara umum besarnya penghasilan kena pajak dapat dihitung sebagai berikut :
Laba bersih sebelum pajak Rp.XXX
Koreksifiskal terdiri dari
Koreksi positif Rp.XXX
Koreksi korektif (Rp.XXX)
Penghasilan kena pajak Rp.XXX

Besarnya PPh terutang dihitung dari penghasilan kena pajak ini menggunakan tarif yang sesuai dengan penghasilan kena pajak. PPh terutang oleh wajib pajak akan di jurnal sebagai berikut :
PPh terutang menurut laba bersih XXX
Piutang PPh XXX
PPh kurang bayar XXX
PPh kurang bayar identik dengan PPh pasal 29 dan merupakan utang pajak pada awak tahun, yang pada bulan sampai april tahun berikut nya akan dilunasi dan dinjurnal sebagai berikut :
PPh kurang bayar XXX
Kas/bank XXX
Apabila wajib pajak dalam perhitungan laba rugi memperlakukan koreksi fiscal dinluar dari setiap transaksi maka besarnya koreksi fiscal tersebut di mnculkan pada laporan laba rugi, sehingga menjadi
Penjualan Rp.XXX
HPP Rp.XXX
Laba kotor Rp.XXX
Biaya usaha Rp.XXX
Laba usaha Rp.XXX
Pendapatan dan biaya di luar usaha Rp.XXX
Laba bersih sebelum pjak Rp.XXX
Koreksi Fiskal Rp.XXX
Penghasilan kena pajak Rp.XXX
PPh terutang Rp.XXX
Laba bersihh setelah pajak Rp.xxx

CONTOH PT Rahmani dalam tahun 2009 melakukan transaksi sebagai berikut
1.penjualan Rp.1.000.000.000,00
2.HPP nilai Rp. 600.000.000,00
3.biaya usaha tunai Rp. 200.000.000.00
4.pendapatan yang lainnya tunai Rp. 100.000.000,00
Dimana dari biaya usaha sebesar Rp.200.000.000,00 yang Rp.100.000.000,00 adalah tidak diperkenankan sebagai pengrang penghasilan kena pajak sehingga dilakukan koreksi fiscal (positif).
Berdasarkan transaksi tersebut, besarnya penghasilan kena pajak dihitung sebagai berikut:
Penjualan Rp.1.000.000.000,00
HPP Rp. 600.000.000,00
Laba kotor Rp. 400.000.000,00
Biaya usaha Rp. 200.000.000,00
Laba usaha Rp. 200.000.000,00
Pendapatan di luar usaha Rp. 200.000.000,00
Laba bersih Rp. 400.000.000,00
Koreksi Fiskal(positif) Rp. 100.000.000,00
Penghasilan kena pajak Rp. 500.000.000,00
PPh terutang adalah sebesar Rp.500.000.000,00 X 14% atau sebesar Rp.70.000.000,00.PPh terutang tersebut dibayar tunai oleh wajib pajak dan wajib pajak tidak mempunyai kredit PPh sama sekali.
Dari transaksi tersebut wajib pajak melakukan jurnal seperti berikut :
Kas Rp.1.000.000.000,00
Penjualan Rp.1.000.000.000,00
Kas Rp. 200.000.000,00
Penghasilan lainnya Rp. 200.000.000,00
HPP Rp. 600.000.000,00
Kas Rp. 600.000.000,00
Biaya usaha Rp. 200.000.000,00
Kas Rp. 200.000.000,00
PPh terutang Rp. 70.000.000,00
Kas Rp. 70.000.000,00

Jurnal penyesuaian seperti berikut :
Penjualan Rp.1000.000.000,00
Penghasilan lainnya Rp. 200.000.000,00
HPP Rp. 600.000.000,00
Biaya usaha Rp. 200.000.000,00
PPh terutang Rp. 70.000.000,00
Laba setelah pajak Rp. 330.000.000,00
Atas dasar posting dari jurnal tersebut dapat di buat laporan laba rugi tahun 2009 seperti berikut :
Penjualan Rp.1.000.000.000,00
HPP Rp. 600.000.000,00
Laba kotor Rp. 400.000.000,00
Biaya usaha Rp. 200.000.000,00
Laba usaha Rp. 200.000.000,00
Pendapatan di luar usaha Rp. 200.000.000,00
Laba bersih Rp. 400.000.000,00
Koreksi Fiskal Rp. 100.000.000,00
Penghasilan kena pajak Rp. 500.000.000,00
PPh terutang Rp. 70.000.000,00
Laba setelah pajak Rp. 330.000.000,00
Apabila besarnya dihitung oleh wajib pajak tidak berdasarkan penghasilan kena pajak yang sudah memperhitungkan koreksi fiscal atau hanya dihitung dari penghasilan bersih sebelum koreksi fiscal maka akan terjadi perbedaan besarnya laba bersih setelah pajak.
Perbedaan laba bersih setelah pajak ini tentu saja akan mempengaruhi besarnya aktiva maupum passiva pada neraca sehingga diperlukan jurnal penyesuaian untuk mendapatkan posisi yang benar yaitu seperti berikut :
PPh terutang menurut penghasilan kena pajak XXX
Kredit pajak XXX
Selisih PPh terutang XXX
2.2 LAPORAN LABA RUGI SUDAH MEMPERTIMBANGKAN KOREKSI FISKAL
Apabila laporan laba rugi yang dibuat oleh wajib pajak sudah mempertimbangkan koreksi fiscal koreksi atau sama dengan laporan laba rugi menurut pajak maka besarnya laba netto yang diperoleh sudah memperhitungkan koreksi fiscal sehingga atas laba komersial yang tidak diperoleh tidak memerlukan koreksi fiscal lagi.
Bentuk laporan laba rugi tersebut seperti berikut :
Penjualan Rp.XXX
HPP Rp.XXX
Laba kotor Rp.XXX
Biaya usaha Rp.XXX
Laba usaha Rp.XXX
Pendapatan dan biaya di luar usaha Rp.XXX
Laba bersih sebelum pajak Rp.XXX
Laba bersih sebelum pajak tsb, antara yang secara komersial dan secara fiscal adalah sama karena dalam operasi hitungannya baik yang terkait penjualan, HPP, biaya semuanya memperhitungkan koreksi fiscal dalam setiap jurnalnya.
Hal semacam ini kemungkinan sulit dilakukan wajib pajak karena penghasilan ataupun biaya yang sesuai ketentuan perpajakan, yang bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, menurut keputusan komersial merupakan penghasilan suatu biaya. Wajib pajak akan mengalami kesulitan untuk melakukan jurnal atas setiap transaksinya apabila setiap transaksi itu harus memperhitungkan koreksi fiscal.
Kesulitannya yang di alami wajib pajak dalam melakukan jurnal terhadap koreksi fiscal tersebut mengharuskan wajib pajak melakukan perhitungan sendiri atas koreksi fiscal ini tanpa harus melakukan jurnal terkecuali bila secara komersial terjadi kesalahan. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa akuntansi pajak tidak memperlakukan jurnal transaksi secara khusus sementara jurnal transaksi mengikuti akuntansi komersial yang lazim.
Tidak adanya jurnal khusus terhadap koreksi fiscal mengharuskan wajib pajak untuk melakukan koreksi fiscal pada setiap perhitungan besarnya PPh terutang menentukan besarnya laba setelah pajak dengan kata lain sangat sulit terjadi bahwa besarnya laba komersial sama dengan laba secara fiscal atau sangat tidak dimungkinkan laporan laba rugi dibuat setelah memperhitungkan koreksi fiscal pada setiap transaksi yang dilakukan wajib pajak.
2.3 LAPORAN LABA RUGI PADA PENGHASILAN YANG SUDAH TERKENA PPh FINAL
Secara akuntansi , pajak penghasilan yang sudah terkena PPh final tidak perlu lagi dihitung besarnya dalam penghasilan kena pajak dan besarnya PPh final tsb merupakan pelunasan dari PPh terutang kegiatan atas usahanya.
Laporan laba rugi untuk penghasilan yang sudah dikenakan PPh final tidak perlu lagi memperhatikan koreksi fiscal karena koreksi fiscal lebih cenderung digunakan dalam perhitungan besarnya perhitungan PPh terutang.
Namun demikian pembuatan laporan laba rugi pada penghasilannya sudah terkena PPh final dengan tetap memperhatikan perlakuan koreksi fiskal, secara komersial maupun secara pajak akan lebih bermanfaat bagi wajib pajak terutama control pemnfaatan berbagai biaya.lebih lebih kalau sebagian penghasilan wajib pajak sudah terkena PPh final, sebagian lagi tidak terkena PPh final.
CONTOH :
PT Anggajaya yang bergerak pada bidang kontruksi dan perdagangan dalam tahun 2009 melakukan transaksi yang meliputi penghasilan yang terkena PPh final dan tidak terkena PPh final seperti berikut :
URAIAN FINAL TIDAK FINAL JUMLAH
Penjualan tunai 100.000.000 1.000.000.000 1.100.000.000
HPP 60.000.000 600.000.000 600.000.000
Biaya usaha tunai 20.000.000 220.000.000 220.000.000
Pendapatan lainnya 0 200.000.000 200.000.000

Biaya usaha sebesar Rp.200.000.000,00, yang sebesar Rp.100.000.000,00 tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan dari biaya usaha sebesar Rp.20.000.000,00,yang sebesar Rp.10.000.000,00 tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, sehingga harus dilakukan koreksi fiscal (positif).
Berdasarkan transaksi tsb besarnya penghasilan kena pajak dihitung seperti berikut :

URAIAN FINAL TIDAK FINAL JUMLAH
Penjualan tunai 100.000.000 1.000.000.000 1.100.000.000
HPP 60.000.000 600.000.000 660.000.000
Laba kotor 40.000.000 400.000.000 440.000.000
Biaya usaha tunai 20.000.000 200.000.000 220.000.000
Laba usaha 20.000.000 200.000.000 220.000.000
Pendapatan lainnya 0 200.000.000 200.000.000
Laba bersih 20.000.000 400.000.000 420.000.000
Koreksi fiscal 0 100.000.000 100.000.000
Penghasilan kena pajak 500.000.000 500.000.000
PPh terutang 2.000.000 70.000.000 72.000.000
Laba setelah pajak 18.000.000 330.000.000 348.000.000

PPh terutang dihitung sebagai berikut :
1.yang tidak terkena PPh final adalah sebesar Rp.500.000.000,00 X 14% sebesar Rp.70.000.000,00
2.yang terkena PPh final adlah sebesar Rp.100.000.000,00 X 2% atau sebesar Rp.2.000.000,00
Jumlah PPh terutang Rp.72.000.000 tersebut dibayar tunai oleh wajib pajak dan wajib pajak tidak mempunyai PPh sama sekali.
Dari transaksi tsb oleh wajib pajak dilakukan jurnal seperti berikut :
Kas Rp.1.100.000.000
Penjualan tidak final Rp.1.000.000.000
Penjualan final Rp. 100.000.000
Kas Rp.200.000.000
Penghasilan lainnya Rp. 200.000.000
HPP tidak final Rp.600.000.000
HPP final RP. 60.000.000
Kas Rp.660.000.000
Biaya usaha tidak final Rp.200.000.000
Biaya usaha final Rp. 20.000.000
Kas Rp.220.000.000
Koreksi fiscal(positif) Rp.100.000.000
Biaya usaha Rp.100.000.000
PPh terutang tidak final Rp.70.000.000
PPh terutang final Rp. 2.000.000
Kas Rp.72.000.000
Jurnal penyesuaiannya seperti berikut :
Penjualan Rp.1.100.000.000
Penghasilan lainnya Rp. 200.000.000
HPP Rp.660.000.000
Biaya usaha Rp.220.000.000
PPh terutang Rp. 72.000.000
Laba setelah pajak Rp.348.000.000

Atas dasar posting dari jurnal tsb dapat dibuat laporan laba rugi tahun 2009 seperti berikut :
Penjualan Rp.1.100.000.000
HPP Rp. 660.000.000
Laba kotor Rp. 440.000.000
Biaya usaha Rp. 220.000.000
Laba usaha Rp. 220.000.000
Pendapatan di luar usaha Rp. 200.000.000
Laba/ rugi bersih Rp. 420.000.000
Koreksi Fiskal positif Rp. 100.000.000
PPh terutang Rp. 72.000.000
Laba setelah pajak Rp. 348.000.000
3.NERACA
Neraca merupakan penutup dari proses suatu pembukuan termasuk didalam pembukuan dalam rangka akuntansi pajak. Neraca pada dasarnya hanya dibuat satu oleh wajib pjak sehingga neraca komersial sama dengan neraca secara pajak.
Neraca yang di buat buat semata mata berdasarkan transaksi komersial tanpa memperhatikan koreksi fiscal akan memperhitungkan besarnya pajak yang terutang pada akhir tahun sesuai laba rugi secara komersial yang besarnya dapat tidak sama denagn perhitungan dari laporan laba rugi secara fiscal.
Seperti telah dibahas pada bab laba rugi laporan laba rugi yang dibuat oleh wajib pajak adalah secara komersial yang ketika menghitung besarnya PPh yang terutang sesuai dengan laba rugi secara fiscal.demikian pula besarnya laba rugi setelah pajak yang di akui pada neraca yang dihitung dari PPh terutang dari laba rugi secara fiscal.
3.1 NERACA SEBELUM KOREKSI FISKAL
Apabila wajib pajak tidak melakukan koreksi fiscal baik melalui jurnal atau setiap transaksi maupun lewat jurnal penyesuaian,di dalam menghitung besarnya PPh terutang. Maka besarnya neraca yang akan di buat oleh wajib pjak akan berbeda apabila dilakukan koreksi fiscal.


CONTOH :
PT Rahmani pada awal tahun 2009 mempunyai neraca seperi berikut :
PT.RAHMANI
NERACA AWAL
NO AKTIFA Rp NO PASSIVA Rp
1 Aktiva lancar 1 Hutang 50.000.000
Kas 350.000.000 Hutang dagang
Piutang dagang 0
Persediaan 50.000.000
Jumlah aktiva lancar 400.000.000 Jumlah hutang 50.000.000
2 Aktiva tetap 2 Modal
Tanah 200.000.000 Modal awal 900.000.000
Bangunan 300.000.000 Laba ditahan 150.000.000
Kendaraan 200.000.000
Jumlah aktiva tetap 700.000.000 Jumlah modal 1.050.000.000
Jumlah aktiva 1.100.000.000 Jumlah passiva 1.100.000.000

Dalam tahun 2009 pt.Rahmani melakukan transaksi sebagai berikut :
1. Penjualan Rp.1.000.000.000
2. HPP Rp. 600.000.000
3. Biaya usaha Rp. 200.000.000
4. Pendapatan lainnya Rp. 200.000.000
5. Membayar PPh pasal 29 Rp. 50.000.000
Dimana dari biaya usaha sebesar Rp.200.000.000 terdapat biaya sebesar Rp.100.000.000 yang tidak di perkenankan sebagai pengurang penhasilan kena pajak sehingga harus diklakukan koreksi fiscal (positif).
Apabila koreksi fiscal tidak dilakukan maka laporan laba rugi wajib pajak adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp.1.100.000.000
HPP Rp. 600.000.000
Laba kotor Rp. 400.000.000
Biaya usaha Rp. 200.000.000
Laba usaha Rp. 200.000.000
Pendapatan di luar usaha Rp. 200.000.000
Laba bersih Rp. 400.000.000
besarnya PPh terutang adalah sebesar
Rp.400.000.000X14% = Rp. 56.000.000
laba setelah pajak Rp. 344.000.000


jurnal dari transaksi tsb adalah sebagai berikut :
kas Rp.1.000.000.000
penjualan Rp.1.000.000.000
kas Rp. 200.000.000
penghasilan lainnya Rp. 200.000.000
HPP Rp. 600.000.000
Biaya usaha Rp. 200.000.000
Piutang PPh pasal 25 Rp. 50.000.000
Kas Rp. 50.000.000
Dari jurnal atas transaksi tsb oleh wajib pajak yang di lakukan posting dan besarnya saldo setiap rekening akan berbeda antara yang terhadapnya dilakukan koreksi fiscal dengan yang tidak, yaitu seperti berikut :
NO REKENING TANPA KOREKSI FISKAL
1 Kas 700.000.000
2 Piutang PPh pasal 25 50.000.000
3 Hutang PPh 56.000.000
4 Laba tahun berjalan 344.000.000






Apabila tidak dilakukan koreksi fiscal maka neraca akhir akan dibuat oleh wajb pajak seperti berikut :
NO AKTIFA Rp NO PASSIVA Rp
1 Aktiva lancar 1 Utang dagang 50.000.000
Kas 700.000.000 utang PPh 56.000.000
Piutang dagang 0
Piutang PPh pasal 25 50.000.000
Persediaan BD 50.000.000 Jumlah hutang 106.000.000
Jumlah aktiva lancar 800.000.000 2 Modal
2 Aktiva tetap
Tanah 200.000.000 Modal awal 900.000.000
Bangunan 300.000.000 Laba ditahan 150.000.000
Kendaraan 200.000.000 Laba tahun berjalan 344.000.000
Jumlah aktiva tetap 700.000.000 Jumlah modal 1.394.000.000
Jumlah aktiva 1.500.000.000 Jumlah passiva 1.500.000.000

3.2 NERACA SETELAH KOREKSI FISKAL
Seperti telah dibahas pada laba rugi besarnya laba setelah pajak baik setiap transaksinya dilakukan jurnal terhadap koreksi fiscal maupun jurnal koreksi fiscal itu dilakukan setelah tutup buku kedaunya akan memberikan angka yang sama .
Apabila besarnya laba setelah pajak berbeda hal itu akan membuat besarnya passiva dan aktiva pada neraca juga berbeda atau telah terjadi kesalahan pada pembuatan neraca.

CONTOH :
CV.RAHMANI
NERACA AWAL
NO AKTIFA Rp NO PASSIVA Rp
1 Aktiva lancar 1 Hutang
Kas 350.000.000 Hutang dagang 50.000.000
Piutang dagang 0
Persediaan BD 50.000.000
Jumlah aktiva lancar 400.000.000 Jumlah hutang 50.000.000
2 Aktiva tetap 2 Modal
Tanah 200.000.000 Modal awal 900.000.000
Bangunan 300.000.000 Laba ditahan 150.000.000
Kendaraan 200.000.000
Jumlah aktiva tetap 700.000.000 Jumlah modal 1.050.000.000
Jumlah aktiva 1.100.000.000 Jumlah passiva 1.100.000.000

Apabila koreksi fiscal diperhitungkan maka laporan laba rugi wajib pajak adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp.1.100.000.000
HPP Rp. 600.000.000
Laba kotor Rp. 400.000.000
Biaya usaha Rp. 200.000.000
Laba usaha Rp. 200.000.000
Pendapatan di luar usaha Rp. 200.000.000
Laba bersih Rp. 400.000.000
Koreksi Fiskal positif Rp. 100.000.000
PPh terutang Rp. 500.000.000
Besarnya PPh terutang adalah
Rp.500.000.000x14% = Rp. 70.000.000
Laba setelah pajak Rp. 330.000.000

3.3 NERACA SETELAH REALISASI KOREKSI FISKAL
Setelah tutup buku wajib pajak segera menghitung besarnya PPh terutang dengan memperhitungkan adanya koreksi fiscal
Berdasarkan perhitungannya besarnya PPh terutang setelah dilakukan pembayaran maka jurnal penyesuaiannya atas yrnsaksi tsb menjadi seperti berikut :
PPh terutang XXX
Piutang PPh pasal 25 XXX
utang PPh pasal 29 XXX
Utang PPh pasal 29 XXX
Kas XXX
Neraca setelah direalisasi dari koreksi fiscal tsb dibedakan menjadi seperti berikut :
1. Tanpa koreksi fiscal
Neraca setelah direalisasi tanpa koreksi fiscal dibuat setelah dilakukan pembayaran PPh terutang dihitung tanpa menggunakan koreksi fiscal.
CONTOH :
Penjualan Rp.1.000.000.000
Penghasilan lain Rp. 200.000.000
HPP Rp. 600.000.000
Biaya usaha Rp. 200.000.000
Laba setelah pajak Rp. 344.000.000
PPh terutang Rp. 56.000.000
Jurnal penyesuaian setelah dilakukannya pembayaran PPh pasal 29 adalah sebagai berikut :
PPh terutang Rp.56.000.000
Piutang PPh pasal 25 Rp.50.000.000
utang PPh pasal 29 Rp. 6.000.000
Utang PPh pasal 29 Rp. 6.000.000
Kas Rp. 6.000.000
Setelah dilakukan jurnal penyesuaian pembayaran utang PPh pasal 29 maka posisi neraca setelah penyesuaian menjadi seperti berikut :
NO AKTIFA Rp NO PASSIVA Rp
1 Aktiva lancar 1 Hutang
Kas 680.000.000 Hutang dagang 50.000.000
Piutang dagang 0
Piutang PPh pasal 25 0
Persediaan BD 50.000.000
Jumlah aktiva lancar 730.000.000 Jumlah hutang 50.000.000
2 Aktiva tetap 2 Modal
Tanah 200.000.000 Modal awal 900.000.000
Bangunan 300.000.000 Laba ditahan 150.000.000
Kendaraan 200.000.000 Laba tahun berjalan 330.000.000
Jumlah aktiva tetap 700.000.000 Jumlah modal 1.380.000.000
Jumlah aktiva 1.430.000.000 Jumlah passiva 1.430.000.000

3.4 NERACA PERTAMA PEMBUKUAN DENGAN MATA UANG ASING
Bagi wajib pajak yang sebelumnya melakukan pembukuan denga mata uang rupiah dan kemudian pindah dengan mata uang dollar AS, maka untuk yang pertama kalinya pembuatan neraca dilakukan dengan bertitik tolak dari neraca akhir tahun buku sebelumnya yang di konversikan ke satuan mata uang dollar AS dengan menggunakan kurs seperti berikut :
1. Untuk harga perolehan harta berwujud/harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun mak menggunakan kurs sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tsb.
2. Untuk akumulasi penyusutan /amortisasi harta maka akan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tsb.
3. Untuk harta lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan system pembukuan yang di anut yang di lakukan secara taat asas.
4. Apabila terjadi revaluasi aktiva tetap di samping menggunakan nilai historis atas nilai selisih lebih di konversi ke dalam satuan mata uang dollar AS dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi.
5. Untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang rupiah dari tahun tahun sebelumnya di konservasi ke dalam satuan mata uang dollar AS dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah BI, berdasarkan system pembukuan yang di anut yang dilakukan secara taat asas.
6. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadi transaksi.
7. Dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang dollar AS maka selisih laba atau rugi tsb dibebankan kepada rekening laba ditahan.

3.5 NERACA SETELAH KUASI REORGANISASI
Sesuai dengan PSAK no 51, kuasi reorganisasi adalah prosedur akuntansi yang mengantur perusahaan dalam merestrukturisasi ekuitasnya dengan menghilangkan defisit dan menilai kembali seluruh aktiva dan kewajibannya tanpa melalui reorganisasi secara hukum adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan untukmelakukan suatu kuasi reorganisasi adalah :
1. Perusahaan mengalami defisit dalam jumlah yang material
2. Harus memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang baik
3. Tidak sedang menghadapi permohonan kepailitan
4. Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku
5. Saldo ekuitas sesudah kuasi reorganisasi harus positif
Dengan adanya transaksi pada rekapitalisasi yang mengubah struktur pada neraca tsb neraca harus di buat setelah kuasi reorganisasi yang menggambarkan kondisi sebelum dan sesudahnya.

3.6 NERACA PENYESUAIAN REVALUASI
Wajib pajak setelah melakukan penilaian kembali atas aktivanya harus membuat neraca penyesuaian dimana besarnya selisih lebih dari hasil penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula dan setelah dikurangi pajak harus di bukukan dalam neraca komersial.
Yang dimaksud neraca penyesuaian dalam keptusan menteri keuangan ialah laporan posisi keuangan menggambarkan posisi sesaat sebelum dan setelah revaluasi.

3.7 NERACA PROFORMA MERGER
Perusahaan yang melakukan merger harus membuat neraca proforma yang merupaka hasil penggabungan merger .
CONTOH :
PT.SIFA akan melakukan merger dengan PT.RAHMANI
PERFORMA BALANCE SHEET
PENGGABUNGAN USAHA
PT.SIFA DENGAN PT.RAHMANI
PER 1 JANUARI 2009

KETERANGAN SEBELUM PENGGABUNGAN TOTAL Setelah penggabungan usaha dengan nama PT.SIFA RAHMANI
PT.SIFA PT.RAHMANI
Aktiva lancar 100.000.000 200.000.000 3.000.000.000 300.000.000
Aktiva tetap 1.1000.000.000 2.000.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
Aktiva lain lain 10.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000
Total aktiva 1.110.000.000 2.220.000.000 3.330.000.000 3.330.000.000
Hutang 210.000.000 120.000.000 330.000.000 330.000.000
Modal 900.000.000 2.100.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
Total passiva 1.100.000.000 2.220.000.000 3.330.000.000 3.330.000.000

Dari data di atas tampak besarnya aktiva maupun pasiva setelah dan sebelum dilakukan merger adalah sama sehingga tidak terdapat objek pajak yang perlu di perhitungkan pajaknya.

2 komentar:

  1. thanks buat infonya..

    BalasHapus
  2. Tabel nya kurang rapi.. sorry..
    Buatlah memeang yg ber bentuk tabel jangan asal copas

    BalasHapus