Rabu, 22 Desember 2010

Makalah Kesehatan


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas SDM. Oleh kerena itu kesehatan perlu di pelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikan. Masalah kesehtan merupakan suatu masalah yang tidak terlepas dari kehidupan manusia, baik kesehtan jasmani maupun rohani mulai dari individu, kelompok dan masyarakat.
Pada pasal 5 UU Kesehatan No 23 Tahun 1992, dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluargan dan juga lingkungan. Dalam hal pemeliharaan kesehatan masyarakat, pemerintahan mendirikan suatu bentuk organisasi kesehatan fungsional yang bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat secara optimal yang disebut puskesmas.
Lingkungan hidup yang kita tempati  tidak selalu higienis. Meskipun lingkungan kita sudah terlihat higienis, lingkungan penuh dengan  agen-agen penyebab penyakit yang tidak terlihat oleh mata. Seperti bakteri, polutan, virus, parasit yang senantiasa dapat menyerang tubuh kita. Namun, kita tetap masih hidup dengan sehat dan bisa menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Bagaimana dan dengan apakah tubuh kita ini bisa mengatasi hal tersebut. Ini semua ada hubungannya dengan cara tubuh kita mempertahankan diri, yaitu sistem kekebalan tubuh atau sistem imun tubuh kita.
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal dari ilmu kedokteran dan penelitian awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan imunitas yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM. Thucydides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat mengobati penyakit tanpa terkena penyakit sekali lagi. Observasi imunitas nantinya diteliti oleh Louis Pasteur pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman. Teori Pasteur merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit miasma. Robert Koch membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan hadiah nobel pada tahun 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit infeksi. Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada tahun 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.
Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui perkembangan cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas selular. Paul Ehrlich mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi. Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah nobel pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi selular, Elie Metchnikoff.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Sistem kekebalan membantu tubuh mempertahankan diri terhadap berbagai mikroba dan polutan. Namun sistem kekebalan tubuh itu sendiri dapat melemah dan menyebabkan tubuh rentan terhadap berbagai virus, bakteri, atau jamur. Penyebab defisiensi imun dapat mencakup berbagai penyakit seperti virus, penyakit kronis, atau penyakit sistem kekebalan tubuh.  Sistem imunitas pun dapat menhalami hyperimunitas yang menyebabkan sistem imun tidak dapat mengidentifikasi patogen atau sel tubuh sendiri yang disebut dengan autoimun.

BAB II
SISTEM IMUNITAS

Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Sistem kekebalan membantu tubuh mempertahankan diri terhadap berbagai mikroba dan polutan.

A.    IMUNITAS NONADAPTIF

Mekanisme pertahanan non adaptif disebut juga komponen non spesifik atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik.
 












Gambar 1. Bagan imuntas non adaptif

1.      BARIER ANATOMI

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan berbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.

a.       Faktor mekanis

·         Jaringan epitel (kulit dan mukosa) sangat impermeabel terhadap agen-agen infeksi, kecuali jika terjadi kerusakan, misalnya terluka.

·         Gerakan silia, batuk dan bersin membebaskan saluran pernafasan dari pathogen, aliran air mata, saliva dan urin dapat mengeluarkan patogen. Serta mukus pada saluran pencernaan dan pernafasan dapat menangkap mikroorganisme, Dan peristaltik membebaskan saluran pencernaan dari mikroorganisme.

b.      Faktor kimia

·         Sekresi lambung, sekresi vaginal dan keringat bersifat asam (pH<7) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

·         Enzim-enzim perncerna protein dapat membunuh beberapa patogen

·         Folikel rambut menghasilkan sebum dengan kandungan asam laktat dan asam lemak yang dapat menghambat bakteri patogenik dan jamur.

·         Lisozim dan fosfolipase pada saliva, air mata, sekresi hidung, dan perspirasi merupakan enzim yang dapat merusak dinding sel bakteri Gram positif sehingga sel mengalami lisis.

·         Laktoperoksidase merupakan enzim powerfull pada ASI.

·         Defensin pada paru dan saluran pencernaan memiliki aktifitas antimikrobial.

·         Surfaktan pada paru beraksi sebagai opsonin yang memicu fagositosis partikel oleh sel-sel fagosit


c.       Faktor biologis

·         Flora normal (mayoritas bakteri) pada kulit dan saluran pencernaan mencegah kolonisasi bakteri patogenik dengan mengeluarkan substansi toksik atau dengan bersaing mendapatkan nutrien.

·         Ada 103-104 mikroba per cm2 di kulit (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Diphtheroid, Streptococci, Candida dll.).

·         Di lambung dan usus halus terdapat Lactobacilli

·         Di usus halus terdapat 104 bakteri per gram dan di usus besar 1011 per gram, 95-99% di antaranya adalah anaerob.

·         Di saluran kemih terdapat koloni berbagai bakteri dan difteroid.

·         Setelah pubertas, terdapat koloni Lactobacillus aerophilus yang meng-fermentasi glikogen untuk mempertahankan pH asam.


2.      BARIER HUMORAL

Barier anatomi sangat efektif mencegah kolonisasi mikroorganisme pada jaringan. Tetapi, jika barier tersebut rusak, maka infeksi dapat terjadi. Sekali agen infeksius menembus jaringan, mekanisme imunitas bawaan lainnya bekerja, yaitu inflamasi akut. Faktor-faktor humoral berperan penting dalam radang, ini ditandai dengan edema dan rekrutmen sel-sel fagosit. Faktor-faktor humoral ini ditemukan di dalam serum atau terbentuk di lokasi infeksi.

a.       Sistem komplemen

·         Sekali agen infeksius menembus jaringan, mekanisme imunitas bawaan lainnya bekerja, yaitu inflamasi akut (radang akut).

·         Faktor-faktor humoral berperan penting dalam radang, ini ditandai dengan edema dan rekrutmen sel-sel fagosit.


b.      Sistem Koagulasi

·         antimikrobial langsung, misalnya beta-lisin (protein yang dihasilkan oleh trombosit selama koagulasi)

·         menyebabkan lisis beberapa bakteri Gram positif dengan aksi sebagai detergen kationik.

c.       Laktoferin dan Transferin adalah protein yang dapat mengikat besi sehinga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

d.      Interferon adalah protein yang dapat membatasi replikasi virus dalam sel.

e.       Lisozim merusak dinding sel bakteri.

f.       Interleukin -1 (IL-1) memicu demam dan produksi protein fase akut,


3.      BARIER SELULER

a.       NETROFIL atau PMNs (polymorphonuclear cells) dapat melakukan fagositosis terhadap organisme lalu membunuhnya di dalam sel.

b.      MAKROFAG dan monosit yang baru direkrut melakukan fagositosis serta membunuh mikroorganisme di dalam sel. Makrofag juga mampu membunuh secara ekstraseluler. Makrofag mendukung perbaikan jaringan dan beraksi sebagai antigen-presenting cells (APC), yang diperlukan untuk memicu respon imun spesifik.

c.       SEL NK (natural killer) & LAK (lymphokine activated killer) adalah sel yang secara non spesifik membunuh virus dan sel-sel tumor. Bukan bagian dari respon radang.

d.      EOSINOFIL adalah leukosit yang memiliki protein di dalam granula sel yang efektif untuk membunuh parasit-parasit tertentu.


B.     IMUNITAS ADAPTIF



 

 

 

 

 





Gambar 2. Bagan Imunitas adaptif

1.      IMUNITAS SELULER (oleh Limfosit T)

Saat makrofag (imunitas bawaan) menelan antigen dan membunuhnya dan akan merangsang limfosit T mengenal antigen. Semua sel tertutup oleh berbagai substansi yaitu Cluster of differentiation (CD) yang jenisnya >160 cluster. Ada 100.000 molekul pada permukaan Sel T dan sel B. Molekul pada permukaan limfosit menyebabkan pembentukan reseptor yang bervariasi (ada 1018 macam reseptor). Sel T awalnya dari timus melalui 2 proses seleksi, yaitu Seleksi positif, hanya sel T yang cocok dengan reseptor yang dapat mengenal molekul MHC yang bertanggungjawab terhadap pengenalan “self” dan seleksi negative, dimulai ketika sel T yang dapat mengenal molekul MHC bergabung dengan peptide asing dikeluarkan dari timus. Ada beberapa macam sel T, yaitu

a.       Sitotoksik atau Sel T Killer (CD8+), mengeluarkan limfotoksin yang menyebabkan lisis sel.


b.      Sel T Helper (CD4+), mengeluarkan limfokin yang merangsang sel T Killer dan sel B untuk tumbuh dan membelah diri, memicu netrofil, memicu makrofag untuk menelan dan merusak mikroba.

c.       Sel T Supressor, menghambat produksi sel T Killer jika tak dibutuhkan.

d.      Sel T Memory, mengenal dan merespon pathogen.

2.      IMUNITAS HUMORAL

a.       Sel plasma menghasilkan antibodi atau immunoglobulin (Ig). Kelas Imunoglobulin adalah sebagai berikut:

·         IgG proporsi 76%. IgG dapat menembus barier plasenta menuju janin dan memberikan imunitas pada masa awal kehidupan bayi. IgG dapat mengikat komplemen, Berikatan dengan sel (makrofag, monosit, netrofil dan beberapa limfosit memiliki Fc reseptor yang berikatan dengan regio Fc pada IgG). Sel yang terikat IgG lebih mengenal antigen. Ig menyiapkan antigen agar mudah ditelan oleh fagosit. Opsonin merupakan substansi yang memicu fagositosis.

·         IgM proporsi 8%. IgM adalah Pengikat komplemen terbaik karena berstruktur pentamer. Oleh karena itu IgM sangat efisien untuk melisiskan mikroorganisme. IgM sangat membantu untuk menggumpalkan mikroorganisme untuk dikeluarkan.

·          IgA proporsi 15%. IgA adalah imunoglobulin terbanyak pada sekresi (air mata, saliva, kolostrum, mukus) dan penting untuk imunitas lokal.

·         IgD proporsi 1%. Secara primer IgD ditemukan pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen.

·         IgE proporsi 0,002%. IgE Terlibat dalam reaksi alergi (akibat terikat kuat dengan basofil dan mast cell). Pengikatan alergen ke IgE pada sel menimbulkan pelepasan berbagai mediator yang mengakibatkan gejala alergi. IgE dapat melawan parasit cacing,  Eosinofil berikatan dengan IgE kemudian menyelubungi cacing lalu membunuhnya.


b.      Sel B memori

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori.

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen. Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.


BAB III
PATOLOGI IMUNITAS

Patologi imunitas adalah gangguan atau kelainan yang terjadi pada sistem kekebalan tubuh atau bentuk ketidaknormalan sistem pertahanan tubuh. Sistem kekebalan tubuh secara normal bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, yaitu:

A.    HYPERSENSITIVITAS

Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitu merusak jaringan. Hypersensitivitas memiliki 4 Tipe, yaitu:
1.      Hipersensitivitas Tipe I (Anafilaksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Antibodi akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and enzim).
a.                               Mediator Primer :
·         Histamine  : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
·         Serotonin   : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
·         ECF-A      : Kemotaksis eosinofil
·         NCF-A      : Kemotaksis eosinofil
·         proteases   : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
b.      Mediator Sekunder :
·         Leukotrienes         : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
·         Prostaglandins       : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
·         Bradykinin            : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
·         Cytokines              : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil







Gambar 3. Reaksi Hypersensitivitas type I
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 atau anafilaksis ada 2 macam, yaitu:
a.   Anafilaksis lokal ( alergi atopik ), Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung dari tipe alergen yang masuk, misalnya :
·         batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi (alergi rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa : bulu binatangm, debu, spora.
·         Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi otot polos kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
·         Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan. Makanan yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut.
b.   Anafilaksis sistemik, Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon dari sel mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan. Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah.

2.      Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi sitotoksik)
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi tipe II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien.








Gambar . reaksi hypersensitivitas type II

3.      Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
a.       Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
b.      Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
c.       Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibody bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks.










Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

4.      Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini tidak dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang membentuk kompleks dengan MHC tipe 1 atau tipe 2. sel penyaji antigen dalam reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan interferon, untuk menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin ini akan memediasi respon imun. Sel T CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan makrofag memproduksi enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya pathogen intraselular, akan membentuk sel raksasa multinukleus. Reaksi ini dapat terjadi karena :
  • rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air, candidiasis, histoplasmosis
  • reaksi akibat pengujian pada kulit
  • kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
  • diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
  • sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron.
  • adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima.






Gambar 5. reaksi hypersensitivitas type IV

B. DEFISIENSI IMUNITAS
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif atau gagal berfungsi. Kemampuan sistem imun untuk merespon patogen dapat berkurang pada golongan muda dan golongan tua, biasanya respon imun mulai berkurang pada usia sekitar 50 tahun karena immunosenescence. Di negara-negara berkembang, obesitas, penggunaan alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk. Namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA dan produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, dan B6, dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.

1.      AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrome)
AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh HIV atau Human Imunodeficiency Virus. HIV yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Berdasarkan data yang ada ternyata transmisi terbanyak  adalah melalui kontak seksual pada penderita homoseksual. Cara transmisi lainnya bisa melalui jarum suntik yang dipakai pecandu narkotika. Juga melalui transfusi darah seperti penderita hemofilia. Belum dibuktikan adanya transmisi malalui kulit, barang-barang rumah tangga atau melalui udara. Penularan dapat pula melalui kontaminasi selaput lendir oleh darah atau cairan tubuh penderita AIDS, melalui air susu ibu penderita AIDS kepada bayi atau melalui plasenta.
HIV Menyerang Limfosit T pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah.
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Penyakit AIDS dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Diagnostiknya berdasarkan adanya defisiensi imunitas seluler yang penyebab penyakitnya tidak diketahui dengan jelas. Karena gejala-gejala ini tidak spesifik untuk AIDS maka diperlukan anamnesis yang cermat mengenai faktor risikonya. Berdasarkan gejala kliniknya, AIDS diklasifikasikan sebagai berikut :
  • Full Blown AIDS
Terlihat adanya kemunduran imunitas seluler lengan di-temukannya sarkoma Kaposi, radang paru-paru Pneumocystic carinii dan infeksi oportunistik lainnya. Penyebab kemunduran imunitas tersebut tidak diketahui dengan jelas.
  • AIDS Related Complex
Penderita AIDS related complex (ARC) menunjukkan gejala limfadenopati yang tersebar luas, penurunan berat badan dengan cepat, febris, luka-luka di mulut, diare kronis, rasa lemah, limfopenia, anemia, idiopatik trombositopenia, pengurangan jumlah limfosit T4 serta pengurangan rasio T4/T8. Para penderita ini tidak ditemukan infeksi oportunistik dan sarkoma Kaposi.
  • Chronic Lymphadenopathy Syndrome
Ditemukan limfadenopati pada laki-laki homoseksual minimal selama tiga bulan dan mengenai lebih dari dua kelenjar ekstrainguinal tanpa penyebab yang jelas.


2.   DiGeorge Anomaly

          Kelainan DiGeorge / DiGeorge Anomaly adalah gangguan kekurangan system kekebalan tubuh bawaan yang mana tidak adanya kelenjar thymus atau tidak terbentuk ketika lahir.
Biasanya, diGeorge anomaly berkaitan dengan ketidak normalan kromosom namun tidak selalu menurun. Janin tidak bertumbuh dengan normal, ketidak normalan jantung, kelenjar para tiroid, muka, dan kelenjar thymus seringkali terjadi. Kelenjar thymus sangat penting untuk pembentukan normal pada getah bening T. Sebagai konsekwensi, orang dengan gangguan ini memiliki jumlah getah bening T yang rendah, membatasi kemampuan mereka untuk melawan berbagai infeksi. Infeksi segera terjadi setelah lahir dan seringkali terulang.


C.    AUTOIMUNITAS

Autoimmun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk. Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel.

Penyakit autoimmune tidak menyebar kepada individu lainnya sebagaimana penyakit infeksi. Gen individu penderita penyakit autoimmune memiliki konstribusi terhadap penularan penyakit autoimmune. Penyakit tertentu seperti Psoriasis dapat terjadi diantara beberapa anggota keluarga. individu anggota suatu keluarga dengan penyakit autoimmune dapat berperan dalam membentuk abnormalitas gen yang mendorong kejadian penyakit autoimmune walaupun mungkin menurunkan penyakit autoimmune dalam jenis penyakit autoimmune lainnya.


1.      Multiple Sclerosis

          Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari sistim syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi. MS merupakan suatu kelainan peradangan yang terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh banyak faktor terutama focal lymphocytic infiltration (sel T secara terus-menerus bermigrasi menuju lokasi dan melakukan penyerangan seperti yang layak terjadi pada setiap infeksi) dan berakibat pada kerusakan mielin dan akson.
          Myelin adalah bagian dari saraf yang menyediakan suatu penutup atau isolasi untuk syaraf-syaraf, memperbaiki pengantaran (konduksi) dari impuls-impuls sepanjang syaraf-syaraf dan juga adalah penting untuk memelihara kesehatan dari syaraf-syaraf. Pada multiple sclerosis, peradangan menyebabkan myelin akhirnya menghilang. Sebagai konsekwensinya, impuls-impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-syaraf memperlambat, yaitu menjadi lebih perlahan. Sebagai tambahan, syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-syaraf yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti penglihatan, kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.








Gambar. Demyelisasi
          Pada awalnya, setiap peradangan yang terjadi berangsur menjadi reda sehingga memungkinkan regenerasi selaput mielin. Pada saat ini, gejala awal MS masih berupa episode disfungsi neurologis yang berulang kali membaik. Walaupun demikian, dengan berselangnya waktu, sitokina yang disekresi oleh sel T akan mengaktivasi sejumlah mikroglia, dan astrosit sejenis fagosit yang bermukim pada jaringan otak dan sumsum tulang belakang, dan menyebabkan disfungsi sawar otak serta degenerasi saraf kronis yang berkelanjutan.
          Secara klinis, akan terjadi akumulasi progresif seperti masalah penglihatan, kelemahan pada otot, penurunan daya indra, depresi, kesulitan koordinasi dan berbicara, rasa sakit dan bahkan kelumpuhan.
Secara paraklinis, akan terjadi kerusakan akson dan lebam pada otak dan sumsum tulang belakang akibat peradangan fase akut dan gliosis yang terjadi berulangkali pada akson dan glia. Rasio IL-12 dan IFN-gamma dalam darah juga mengalami peningkatan.















Gambar . gejala multiple sclerosis

Populasi umum mempunyai kurang dari satu persen kesempatan untuk pernah mendapatkan multiple sclerosis. Kesempatan meningkat pada keluarga-keluarga dimana seorang saudara derajat satu mempunyai penyakit ini. Jadi, seorang kakak/adik laki, kakak/adik perempuan, orangtua, atau anak dari seseorang dengan multiple sclerosis berkesempatan satu sampai tiga persen mengembangkan multiple sclerosis. Dengan cara yang sama, kembar dua yang identis mempunyai suatu kesempatan hampir 30% memperoleh multiple sclerosis sedangkan kembar dua yang tidak identis mempunyai hanya suatu kesempatan dari 4% jika kembaran yang satu mempunyai penyakit ini. Statistik ini menyarankan bahwa faktor-faktor genetik memainkan suatu peran utama pada multiple sclerosis.

2.      Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

          Systemic Lupus Erythematosus (SLE)adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya SLE harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

Pasien-pasien dengan lupus memproduksi antibodi-antibodi yang abnormal didalam darahnya yang mentargetkan jaringan-jaringan didalam tubuhnya sendiri dari pada agen-agen menular asing. Karena antibodi-antibodi dan sel-sel peradangan yang mendampinginya dapat melibatkan jaringan-jaringan dimana saja didalam tubuh, lupus mempunyai potensi untuk mempengaruhi beragam area-area tubuh.

Lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga.

Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem kekebalan humoral. Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik.

Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan pembuluh darah). Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh), neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku.










Gambar . Butterfly Rash

3.   Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome
          Sindrom Hyperimmunoglobulin E (sindrom hyper-IgE, atau sindrom Job-buckley) adalah gangguan imunodefisiensi menurun dengan kadar IgE sangat tinggi dan kadar normal pada kelas antibodi lain.
          Pada kebanyakan orang dengan sindrom Hyperimmunoglobulinemia E, neutrofil-jenis sel darah putih yang juga fagosit adalah normal (fagosit sel yang mencerna dan membunuh bakteri). Penyebab tersebut tidak diketahui. Kulit, persendian, paru-paru, atau organ lainnya kemungkinan terinfeksi, biasanya dengan bakteri Saphylococcus.
          Kebanyakan orang dengan gangguan ini mengalami tulang lemah dan oleh karena itu banyak keretakan. Beberapa orang mengalami gejala-gejala alergi, seperti eksim, hidung kaku,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar