PENJELASAN
1.1. Rekonsiliasi Fiskal
Beberapa perbedaaan pengakuan pendapatan dan biaya dalam penyusunan laporan keuangan antara Standar Akuntansi Keuangan dengan Ketentuan perpajakan menghasilkan jumlah angka yang berbeda (laba komersial dan laba fiskal). Perbedaan inilah yang menyebabkan perlunya dilakuan “Rekonsiliasi Fiskal”, yaitu suatu mekanisme untuk menyesuaikan laporan keuangan komersial perusahaan menjadi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Rekonsiliasi fiskal yang tujuannya adalah agar laporan keuangan komersial sebelum datanya dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh terlebih dahulu disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan karena terdapat beberapa perbedaan perlakuan baik itu mengenai pengakuan penghasilan maupun mengenai biaya/beban. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak Penghasilan (PPh) terutang.
Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain :
a. Rekonsiliasi dterhadap penghasila yang dikenakan PPh Fonal.
b. Rekonsiliasi terhada[ penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
c. Wajib Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto (non Deductible Expense)
d. Wajib pajak mengeluarkan metode pencatatan yang berbeda denga ketentuan pajak
e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan Objek Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final (Joint Cost)
1.2.KOREKSI FISKAL
Koerksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, manfaat , dan umur, dalam menghitunga laba secara komersial atau dengan secara fiskal.
1.2.1. Latar Belakang Koreksi Fiskal :
Sehubungan dengan adanya perbedaan antara laba (rugi) menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal
Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 jo UU Nomor 17 Tahun 2000).
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
1. Beda Tetap (Permanent Different)
2. Beda Waktu (Time Different)
1.2.2. Beda Tetap
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
· Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
· Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
o Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
o Penghasilan berupa hadiah undian
o Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
o Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
o Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
o dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
· biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
o yang bukan objek pajak;
o yang pengenaan pajaknya bersifat final;
o yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
· penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
· Pajak Penghasilan
· sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
· biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
1.2.3. Beda Waktu (Time Different)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :
- Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
- Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
- Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
- Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
- dan sebagainya
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
1.2.4. Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak.koreksi fiskal positif diantaranya:
§ Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
§ Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
§ Pengeluaran dalam bentuk natura
§ Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham
§ Sumbangan atau bantuan
§ Pajak Penghasilan
§ Sanksi administrasi (Pajak)
§ Penyusutan/amortisasi
§ Dll
1.2.5. Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial sehingga semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:
• Penyusutan/amortisasi
• Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
• Dll
Penyustan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil.
Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskal nya. Laporan audit pada perusahaan go public di perpustakaan BEJ dapat kita pinjam dan baca untuk menambah wawasan tentang koreksi fiskal.
1.2.6. perlakuan akuntansi terhadap koreksi fiskal
Perlakuan akuntansi terhadap koreksi fiskal atas berbagai perbedaan secara komersil dengan secara fiskal, baik karena adanya beda tetap maupun beda waktu, atau berupa koreksi positif maupun koreksi negatif, dapat dibedakan berdasarkan perlu tidaknya jurnal, yaitu seperti berikut
a. Koreksi fiskal yang tidak mengubah total aktifa
Pada dasarnya koreksi fiskal hanyalah perhitugan koreksi besarnya PPh terutang sehingga perbedaan pengakuan besarnya penghasilan maupun biaya maupun biaya secara fiskal tudak perlu harus mengubah besarnya penghasilan atau biaya yang diakuai pada laporan laba rugi.
Rekening pada neraca yang akan terpengaruh dengan adanya koreksi fiskal adalah rekening PPh terutang dan rekening laba setelah pajak. Jika PPh terutang itu sudah dibayar tentu saja total aktiva akan berubah.
Koreksi fiskal dapat dilakkukan oleh Wajib Pajak setelah laporan laba rugi komersial dan neraca selesai dibuat, atau sebelumnya.
Contoh 1: laporan Laba rugi PT Wahana adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp 1.000.000.000,00
HPP Rp 600.000.000,00
Laba kotor Rp 400.000.000,00
Biaya Rp 200.000.000,00
Laba bersih Rp 200.000.000,00
PPh terutang Rp 25.000.000,00
Laba setelah pajak Rp 175.000.000,00
Neraca dari Pt Wahana tersebut adalah sebagai berikut
Kas Rp 50.000.000,00
Piutang dagang Rp 100.000.000,00
Piutang PPh Rp 20.000.000,00
Persediaan Rp 80.000.000,00
Aktiva tetap Rp 750.000.000,00
Total aktiva Rp 1.000.000.000,00
Utang dagang Rp 100.000.000,00
PPh terutang Rp 25.000.000,00
Modal Rp 600.000.000,00
Laba di tahan Rp 100.000.000,00
Laba berjalan Rp 750.000.000,00
Totola pasiva Rp 1.000.000.000,00
Jurnal dari perlakuakn laba sebelum adanya koreksi fiskal adalah sebagai berikut
Penjualan Rp 1.000.000.000,00
HPP Rp 600.000.000,00
Biaya Rp 200.000.000,00
Laba bersih Rp 200.000.000,00
PPh terutang Rp 25.000.000,00
Laba setelah pajak Rp 175.000.000,00
Pada laporan tersebut terdapat biaya sebesar Rp 50.000.000,00 yang harus dilakukan koresi fiskal. Seandainya atas koreksi fiskal terseut dilakukan jurnal seperti berikut
Koreksi fiskal Rp 50.000.000,00
Biaya setelah koreksi fiskal Rp 150.000.000,00
Biaya Rp 200.000.000,00
Maka besarnya biaya akan berkurang Rp 50.000.000,00 dan laba bersih komersial akan berubah menjadi Rp 250.000.000,00 yang tentu saja hal ini tidak sesuai dengan kondisi secara komersial yang besarnya laba bersih Rp 200.000.000,00
Dari kondisi tersebut tampak bahwa dengan adanya jurnal terhadap koreksi fiskal telah membuat besarnya laba komersial menjadi tidak sesuai dengan kenyataan.
Atas koreksi fiskal sebesar Rp 50.000.000,00 tersebut cukup dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Laba bersih Rp 200.000.000,00
Koreksi fiskal positif
Biaya Rp 50.000.000,00
Laba kena pajak Rp 250.000.000,00
PPh terutang Rp 31.250.000,00 -
Laba setelah pajak = laba bersih – PPh terutang Rp 168.750.000,00
Perhitunga koreksi fiskal cukup dibuat dalam suatu lampiran sendiri, atau dapat digabungkan dengan laporan laba rugi yang berkaitan, tampa memerlukan adanya jurnal.
Jurnal bekaitan dengan koreksi fiskal baru akan dilakukan atas perubahan yang terkait adanya koreksi fiskal tersebut, yaitu seperti berikut:
Laba setelah pajak Rp 175.000.000,00
PPh terutang Rp 25.000.000,00
Laba setelah pajak koreksi Rp 168.750.000,00
PPh terutang koreksi Rp 31.250.000,00
Dengan adanya jurnal tersebut maka neraca akan berubah menjadi seperti berikut:
Kas Rp 50.000.000,00
Piutang dagang Rp 100.000.000,00
Piutang PPh Rp 20.000.000,00
Persediaan Rp 80.000.000,00
Aktiva tetap Rp 750.000.000,00
Total aktiva Rp 1.000.000.000,00
Utang dagang Rp 100.000.000,00
PPh terutang Rp 31.250.000,00
Modal Rp 600.000.000,00
Laba di tahan Rp 100.000.000,00
Laba berjalan Rp 168.750.000,00
Totola pasiva Rp 1.000.000.000,00
Dengan adanya koreksi fiskal yang belum direalisasikan maka akan tampak bahwa perubahan hanya akan terjadi pada posisi PPh terutang dan laba berjalan atau laba setalah pajak, sedangkan total aktiva tidak mengalami perubahan.
b. Koreksi fiskal yang mengubah total aktifa
Apabila laporan laba rugi maupun neraca yang dibuat oleh Wajib Pajak di hitung dan dibuat setelah adanya koreksi fiskal, atau koreksi fiskal dilakukan sebelum Laporan Laba Rugi komersial dibuat, maka jurnal tidak diperlukan lagi dengan fiskal tersebut
Contoh 2 : laporan laba rugi PT Wahana adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp 1.000.000.000,00
HPP Rp 600.000.000,00
Laba kotor Rp 400.000.000,00
Biaya Rp 200.000.000,00
Laba bersih Rp 200.000.000,00
PPh terutang Rp 31.250.000,00 -
Laba setelah pajak Rp 175.000.000,00
Neraca dari PT Wahana tersebut adalah sebagai berikut
Kas Rp 50.000.000,00
Piutang dagang Rp 100.000.000,00
Piutang PPh Rp 20.000.000,00
Persediaan Rp 80.000.000,00
Aktiva tetap Rp 750.000.000,00
Total aktiva Rp 1.000.000.000,00
Utang dagang Rp 100.000.000,00
PPh terutang Rp 31.250.000,00
Modal Rp 600.000.000,00
Laba di tahan Rp 100.000.000,00
Laba berjalan Rp 168.750.000,00
Totola pasiva Rp 1.000.000.000,00
Jurnal dari pengakuan laba tersebut adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp 1.000.000.000,00
HPP Rp 600.000.000,00
Biaya Rp 200.000.000,00
Laba bersih Rp 200.000.000,00
Laba bersih Rp 200.000.000,00
PPh terutang Rp 31.250.000,00 -
Laba setelah pajak Rp 168.750.000,00
Dengan demikian tidak diperlukan lagi jurnal berkaitan dengan koresi fiskal, karena secara komersial maupun secara fiskal, baik laporan laba rugi maupun Neraca.
3. LAPORAN KEUANGAN
Berkenaan dengan istilah laba, dikenal dua pengertian yang seharusnya tidak perlu dibedakan. Kedua istilah itu adalah:
a. Laba komersial
Laba Komersial adalah besarnya laba yang dihitung oleh wajib pajak sesai dengan sistem dan prosedur pembukuan yang wajar yang di akui dalam Standar akuntansi Keuangan (SAK).
Secara umum bentuk Laporan Laba Rugi yang dipergunakan oleh wajib pajak disusun sebagai berikut
Penghasilan Rp XXX
HPP Rp XXX
Laba kotor Rp XXX
Biaya usaha Rp XXX
Laba usaha Rp XXX
Pendapatan dan biaya duar usaha Rp XXX
Laba bersih komersial sebelum pajak Rp XXX
Pajak penghasilan Rp XXX
Laba bersih komersial setelah pajak Rp XXX
Laba bersih komersial mencerminkan kondisi keuangan atau saldo yang sesungguhnya dari kegiatan usaha perusahaan.
Pada dasarnya laba secara komersial boleh berbeda dengan laba kena pajak tetapi besarnya laba setelah pajak harus sama, baik dihitung dari laba komersial maupun laba kena pajak.
b. Laba fiskal
Laba fiskal untuk Wajib Pajak badan identik dengan laba kena pajak, tetapi untuk wajib pajak perseorangan, dari lab fiskal untuk menjadi laba kena pajak arus dikurang terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
1. Laporan laba rugi KOMERSIL DAN FISKAL
Terdapat perbedaan orientasi dan sifat pelaporan komersial dan fiskal, walaupun saling terkait secara ekstensif, terutama menyangkut tingkat toleransi fleksibilitas pemilihan standar.
· Laporan Keuangan Komersial memiliki konsep kewajaran dalam penyajiannya dan solusi keraguan pengukuran menggunakan prinsip konservatif
· Laporan Keuangan Fiskal bersifat menyimpang dari konsep kewajaran dan bergantung pada kebijakan & keputusan otoritas perpajakan
· Penetapan Beban Dan Pendapatan
· Praktek Komersial : pengakuan penghasilan pada saat realisasi transaksi pertukaran & pembebanan biaya dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan.
· Praktek Fiskal : kadang menyimpang dari prinsip tersebut.
· Konsistensi
· Praktek Komersial : penerapan metode, kebijakan akuntansi yang konsisten dari tahun ke tahun, kecuali ada alasan kuat penggantian.
· Praktek Fiskal : juga seperti komersial, tetapi dalam konteks konsepsional ketentuan pajak dapat menentukan lain.
· Hubungan antara laporan keuangan komersial dan fiskal
· Terdapat pembukuan ganda terhadap pos-pos yang berbeda (timing difference) aantara ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi komersial untuk kontinuitas rekonsiliasi.
· Perhitungan PPh berdasarkan laba akuntansi dan laba kena pajak (perpajakan) menimbulkan selisih, dicatat pada pos aktiva lain-lain di Neraca, yang secara teoritis dialokasikan dari waktu ke waktu
Cara membuat laporan laba-rugi fiskal:
Buku Besar PT. Royal Bali Cemerlang nampak seperti dibawah:
Jika kita susun menjadi Laporan Laba Rugi, kita akan menghasilkan laporan seperti dibawah ini:
Laporan Komersial sudah benar, tetapi “Pajak Penghasilan” nya belum benar.Bukankah seharusnya ada penyesuaian-penyesuaian?.
Kita bandingkan dengan data rincian penyesuaian fiskal positif dan negative di atas. Menurut data diatas, ada beberapa yang harus disesuaikan, yaitu:
“Bunga Jasa Giro” telah dikenakan pajak oleh pihak bank, maka ini dimasukkan sebagai “Pendapatan dikenakan Pajak Final”, sehingga ini tidak seharunya dikenakan pajak lagi. Kita jadikan faktor pengurang Laba Kena Pajak.
“Pengambilan Oleh Direktur” ini adalah bukan beban perusahaan. Direktur hanya boleh menerima Gaji dan Dividen saja. Maka kita masukkan ke dalam koreksi fiskal positif (faktor penambah laba kena pajak).
“Makan Untuk Pegawai” ini adalah bentuk kenikmatan (natura) yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawai, ini tidak diakui sebagai beban perusahaan.
“Sumbangan” ini bukan beban perusahaan, tidak bisa dihubungkan dengan revenue. Sehingga kita masukkan ini ke dalam kelompok koreksi fiskal positif.
Kami tidak menemukan koreksi fiskal negative dalam contoh kasus ini.sehingga nanti koreksi fiskal negatifnya akan 0 (nol).
Setelah unsur koreksi fiskal kita masukkan, maka Laporan Laba Rugi akan menjadi seperti dibawah ini:
Laporan Fiskalnya sudah benar. Bagaimana dengan laporan komersialnya?, apakah laba setelah pajak di atas bisa kita masukkan ke dalam neraca (Laba Tahun Berjalan)?.
Bukankah di neraca nanti laba ini akan di off set dengan mutasi rekening-rekening di kelompok asset (aktiva)?
Bukankah di neraca nanti laba ini akan di off set dengan mutasi rekening-rekening di kelompok asset (aktiva)?
Diakui atau tidak diakui semua koreksi fiskal tersebut (bunga jasa giro, pengambilan direktur, makan untuk pegawai, sumbangan) adalah berpengaruh langsung terhadap posisi (saldo) kas. Jika semua itu tidak diakui, sementara di sisi lainnya, laba kita paksakan masuk ke neraca, maka sudah pasti NERACA TIDAK AKAN BALANCE!.
Kita harus kembalikan semua koreksi tersebut.
Maksudnya, semua unsure tadi tetap kita koreksi, setelah kita peroleh “laba fiskal setelah pajak”, baru kita kembalikan semua koreksi fiskal tersbut.
Perhatikan Laporan Laba Rugi dibawah ini:
Bahkan kita berhasil memperoleh Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal dalam satu lembar laporan saja, anda tidak perlu lagi membuat laporan laba rugi dalam 2 (versi) :
Sekarang Laba setelah pajaknya sudah bisa di masukkan ke dalam neraca. Dan pasti balance.
DAFTAR PUSTAKA
Muljono Djoko, Wicaksono Baruni, Akuntansi Pajak Lanjutan,Yogyakarta. ANDI Yogyakarta. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar